Kliping

Selama 6 Bulan, Hanya 14 Hari Kondisi Udara di Jakarta Tergolong Sehat

Aksi teatrikal di depan Kementerian Kesehatan, Jalan HR Rasuna Said, Kamis (28/9/2017). (KOMPAS.com/NIBRAS NADA NAILUFAR)
Aksi teatrikal di depan Kementerian Kesehatan, Jalan HR Rasuna Said, Kamis (28/9/2017). (KOMPAS.com/NIBRAS NADA NAILUFAR)

JAKARTA, KOMPAS.com – Para aktivis lingkungan Greenpeacemenggelar aksi teatrikal di Kementerian Kesehatan untuk mengampanyekan bahayanya polusi udara.

Juru kampanye iklim dan energi Greenpeace Indonesia Bondan Andriyanu mengungkapkan, Jakarta sebagai kota tersibuk di Indonesia, memiliki kualitas udara amat buruk berdasarkan pemantauan udara yang dilakukan pada Januari-Juni 2017.

“Juga mengacu kepada stasiun pemantauan PM 2,5 milik US Embassydengan standar di luar negeri, dari enam bulan, kondisi sehat hanya 14 hari,” kata Bondan ditemui di Kemenkes, Kamis (28/9/2017).

Data pemantauan yang dilakukan Kedubes Amerika Serikat di Jakarta Pusat dan Jakarta Selatan menunjukkan udara sehat mengacu pada kadar PM 2,5, hanya terjadi tak lebih dari empat hari sebulan.

Baca: Kampanyekan Bahaya Polusi Udara, Aksi Teatrikal Digelar di Depan Kemenkes

Kondisi udara bisa dikatakan sehat, berdasarkan hasil pemantauan itu, paling banyak terjadi pada 5-9 April 2017.

Sementara bulan paling kotor adalah Mei, karena tidak ada hari dengan udara sehat dengan rincian sembilan hari tidak sehat di Jakarta Selatan, sementara sisanya masuk golongan sedang atau tidak sehat bagi kelompok masyarakat sensitif.

Ketika partikel PM 2,5 ini dihirup dan mengendap di paru-paru, warga Jakarta berpotensi besar terkena infeksi saluran pernapasan akut (ISPA) dan kanker paru-paru.

Selain itu, partikel ini meningkatkan kadar racun dalam pembuluh darah dan dapat memicu stroke, penyakit kardiovaskular, dan penyakit jantung lainnya.

Sayangnya, partikel polutan yang dipantau Kementerian Kesehatan hanya PM 10 (berdiameter kurang dari 10 mikrons) seperti debu.

Sementara PM 2,5 yang berukuran jauh lebih kecil dan lebih mudah masuk ke tubuh manusia dan jarang diketahui publik.

Bondan mengatakan, langkah awal untuk mengantisipasinya bisa dilakukan Kementerian Kesehatan dengan pemantauan kualitas udara yang memadai dalam bentuk, jumlah, dan sebaran lokasi yang cukup.

Hasil pemantauan ini harus real time dan bisa diakses masyarakat dengan mudah.

“Ketika itu bisa dipantau, masyarakat yang tinggal di daerah berpolusi, (mereka) tahu kapan harus pakai masker karena kondisi udara sudah tidak sehat,” kata Bondan.

Baca: Greenpeace Keluhkan KLHK yang Menolak Beri Data Kehutanan

Bondan menyebut saat ini di Jakarta baru terdapat lima stasiun pemantauan dengan data yang tidak real time.

Idealnya, untuk kota sebesar Jakarta, harus tersedian 21-26 stasiun pemantau kualitas udara.

Artikel terkait

Leave a Reply

Cek juga
Close
Back to top button