Kliping

Tinjau Ulang Pergub 206/2016

Terbit Sambil Menunggu Status Moratorium dan Pengesahan Perda

JAKARTA, KOMPAS — Peraturan Gubernur DKI Jakarta Nomor 206 Tahun 2016 tentang Panduan Rancang Kota Pulau C, D, dan E dinilai melanggar hukum. Koalisi Selamatkan Teluk Jakarta dan sejumlah lembaga akan bersurat ke Kementerian Dalam Negeri untuk meninjaunya.

Kuasa hukum Koalisi Selamatkan Teluk Jakarta (KSTJ), Tigor Hutapea, Senin (16/1), berpendapat, Peraturan Gubernur DKI No 206/2016 terbit secara sepihak, diam-diam, dan tak transparan. Prosesnya tak melalui konsultasi publik dan organisasi yang berkepentingan terhadap perlindungan lingkungan.

Selain itu, peraturan ditandatangani Gubernur Basuki Tjahaja Purnama pada 25 Oktober 2016, tiga hari sebelum cuti kampanye Pilkada 2017. “Seharusnya pergub tak terbit karena ada beberapa hal yang harus dilengkapi seperti peraturan daerah (perda) tentang rencana zonasi wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil serta rencana tata ruang kawasan strategis yang sampai saat ini belum terbit,” kata Tigor.

Pergub itu, sesuai bunyi klausul menimbang, diterbitkan sambil menunggu penetapan Rancangan Perda Rencana Tata Ruang Kawasan Strategis Pantai Utara Jakarta, penyempurna Perda Nomor 8 Tahun 1995 tentang Penyelenggaraan Reklamasi dan Rencana Tata Ruang Kawasan Pantura Jakarta. Selain itu, kawasan strategis pantura telah dikembangkan berdasarkan Perda Nomor 1 Tahun 2012 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah 2030.

Perwakilan Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI), Martin Hadiwinata, berpendapat, Perda No 8/1995 sudah tidak relevan sebagai acuan penerbitan Pergub No 206/2016. Sebab, desain reklamasi tahun 1995 sudah jauh berubah dengan desain saat ini. Selain itu, pergub terbit ketika pemerintah pusat masih menghentikan reklamasi melalui moratorium.

Sebelumnya, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan memberlakukan moratorium reklamasi Teluk Jakarta selama 125 hari sejak 11 Mei 2016 karena sejumlah syarat belum dipenuhi, khususnya soal analisis mengenai dampak lingkungan (amdal). Namun, penghentian diperpanjang lagi 60 hari hingga 24 Desember 2016.

Akan tetapi, syarat belum juga siap, khususnya kajian lingkungan hidup strategis dan perubahan amdal. Moratorium akhirnya diperpanjang ketiga kali selama maksimal 120 hari hingga April 2017.

Nelson dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta menilai, penerbitan Pergub No 206/2016 sebagai tindakan yang tidak etis. Sebab, selain perda yang menaungi belum sah, pergub diterbitkan dalam situasi moratorium sekaligus menjelang cuti kampanye. Menurut dia, tindakan itu bertentangan dengan asas pemerintahan dan hukum negara yang baik.

Dengan sejumlah pertimbangan itu, KSTJ dan sejumlah lembaga berencana mengirim surat ke Kementerian Dalam Negeri. Menurut Tigor, peninjauan ulang oleh pemerintah menjadi upaya yang paling mungkin ditempuh untuk mencabut atau membatalkan peraturan kepala daerah.

Saling tunggu

Kepala Dinas Cipta Karya Tata Ruang dan Pertanahan DKI Jakarta Benny Agus Chandra menyatakan, Pergub No 206/2016 bersifat sementara. Sebab, kini situasinya saling menunggu. Padahal, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta terikat kontrak kerja sama dengan swasta yang jika merugikan salah satu pihak bisa berujung gugatan di pengadilan.

Menurut Benny, salah satu syarat yang harus dipenuhi pengembang untuk mereklamasi pulau adalah adanya dokumen amdal. Padahal, amdal hanya bisa diterbitkan jika ada peraturan mengenai tata ruang pulau reklamasi yang sampai saat ini belum sah.

Pembahasan perda tentang rencana tata ruang kawasan strategis pantura Jakarta dan perda tentang rencana zonasi wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil terhenti sejak operasi tangkap tangan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada akhir Maret 2016. Ketika itu, KPK menangkap Ketua Komisi D Mohamad Sanusi dan dua orang dari PT Agung Podomoro Land (APL) karena dugaan menyuap dan disuap terkait pembahasan perda tersebut.

Menurut Benny, pembahasan perda akan bergantung pada status moratorium. Jika reklamasi tetap dihentikan pemerintah pusat, pembahasan perda diyakini bakal terhenti pula. “Jika nanti aturan tata ruang di perda berbeda, pengembang berkonsekuensi menyesuaikannya,” ujarnya.

Pelaksana Tugas Gubernur DKI Jakarta Sumarsono menambahkan, peraturan boleh dibuat meski pemberlakuannya mengikuti peraturan lain yang lebih tinggi. “Peraturan kapan pun bisa dibuat, tetapi belum tentu bisa dilaksanakan,” ujarnya.

Pulau C, D, dan E dikembangkan PT Kapuk Naga Indah (KNI). penasihat hukum PT KNI, Kresna, mengungkapkan, pihaknya telah menyelesaikan sekitar 80 persen kewajiban yang diminta Kementerian LHK. (MKN)

Artikel terkait

Leave a Reply

Back to top button