Kliping

Jakarta Masih Butuh Kampung

JAKARTA, KOMPAS — Jakarta dipandang masih membutuhkan keberadaan kampung yang dinilai menyokong seluruh kehidupan metropolitan. Selain menjadi tempat tinggal pekerja sektor informal, perkampungan juga memiliki sistem ekonomi, produk budaya, dan menyimpan kekayaan sejarah kota.

Penataan perkampungan yang tetap melestarikan kekayaan kehidupannya ini menjadi salah satu pekerjaan rumah besar pemimpin DKI Jakarta ke depan.

Pakar permukiman dan tata kota dari Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS), Surabaya, Johan Silas, mengatakan, kehidupan di Jakarta tidak akan berjalan tanpa warga perkampungan yang rata-rata masuk masyarakat kelas menengah ke bawah (underclass).

“Masyarakat kelas ekonomi bawah ini merupakan penyangga kelas di atasnya. Kalau mereka tak ada, kelas di atasnya akan tenggelam. Mereka yang masuk dalam underclass inilah yang menjadi office boy, tukang bersih-bersih, pembantu, dan sebagainya. Kehidupan di Jakarta tak berjalan tanpa mereka,” katanya dalam diskusi yang digelar harian Kompas dalam menyambut Pilkada DKI Jakarta 2017 di Jakarta, Jumat (9/12).

Johan menilai selama ini pemindahan warga kampung yang digusur ke rumah susun di Jakarta belum tepat. Rumah susun masih dibuat dengan model hunian kelas menengah ke atas. Ini akan menghilangkan kekhasan kampung, mulai dari keguyuban dalam interaksi komunal hingga kegiatan ekonomi. Guna mempertahankan kekhasan kehidupan kampung, rumah susun semestinya mempunyai ruang komunal dan dekat dengan layanan publik serta pusat ekonomi.

Khazanah tak benda

Dari sisi budaya, kata Johan, kampung merupakan cagar budaya sebuah kota. Karena sudah ada terlebih dahulu, kampung menyimpan khazanah tak benda (intangible) sejarah kota itu. Upaya menata sekaligus melestarikan kehidupan kampung ini sudah diterapkan Pemerintah Kota Surabaya.

Kampung dikembangkan melalui empat fase, yaitu pemenuhan fasilitas dasar permukiman, membangun komunitas, menggalang ekonomi dengan menaikkan ekonomi kampung ke perkotaan, dan menguatkan kekhasan kampung.

Johan mengatakan, solusi permukiman bagi warga miskin Jakarta seharusnya tak asal berbasis proyek. Ada serangkaian proses yang perlu dijalani Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, mulai dari pembentukan lingkungan hingga mengajak masyarakat berdialog.

Pemprov DKI Jakarta perlu membangun lingkungan di lokasi rumah susun sederhana sewa (rusunawa) tempat warga akan dipindah. Lingkungan yang perlu diciptakan antara lain sudah didukung kegiatan ekonomi, sekolah, dan akses kesehatan. “Kalau untuk kepentingan penataan kali juga perbaikan lingkungan kota memerlukan penggusuran, sebaiknya penggusuran dilakukan melalui metode community based atau penggusuran berbasis komunitas,” ujar Johan.

Senada dengan hal itu, pengajar sosiologi Universitas Indonesia, Daisy Indira Yasmine, menilai, relokasi ke rumah susun sudah langkah yang tepat. Namun, prosesnya harus memakai proses sosial. Dalam artian, mencari titik temu antara keinginan warga dan ketersediaan fasilitas pemerintah.

Pemerintah juga perlu menyediakan fasilitator untuk proses adaptasi warga kampung yang direlokasi. Para fasilitator ini bertugas menginternalisasi perubahan dari kehidupan di kampung konvensional menjadi kampung di rumah susun.

Tak bisa dibiarkan

Relokasi dengan proses sosial yang tepat, kata Daisy, tetap diperlukan. Sebab, perkampungan kumuh juga tak bisa dibiarkan. Buruknya kondisi sanitasi lingkungan hingga tempat tinggal yang berdesak-desakan juga membuat warga kampung kian tak sejahtera.

Daisy menyoroti kerentanan warga kelas bawah ini yang tak punya akses ke fasilitas layanan publik, layanan kesehatan, dan pendidikan, bahkan ada sebagian yang bahkan tak masuk data kependudukan.

“Pemerintah perlu melakukan pendataan kepada mereka. Sebab, jika tak dilakukan, bisa menjadi masalah sosial baru. Dengan kondisi hidup yang sulit, mereka biasanya menjadi pelaku ekonomi bawah tanah, seperti preman atau penjual narkoba, dan lainnya,” ujarnya.

Seperti diketahui, dalam beberapa tahun terakhir, Jakarta yang terus berbenah memiliki sejumlah program penataan kota juga sungai. Penataan itu berdampak pada adanya sejumlah relokasi warga, dari kawasan padat di pinggir kali atau muara kali ke sejumlah rumah susun yang dibangun Pemprov DKI Jakarta.

Terkait pembangunan sektor transportasi untuk melayani mobilitas warga dan mengatasi kemacetan, pengamat transportasi Ellen Tangkudung mengatakan, ada target 65 persen warga menggunakan angkutan umum tahun 2030. Namun, ia menggarisbawahi, hingga saat ini belum ada rancangan langkah-langkah yang jelas dan terukur dari pemerintah untuk mewujudkan target tersebut.

“Yang ada hanya target pada 2030. Belum ada tahapan, setiap tahun mesti berkurang berapa persen. Harus ada step-step atau tahapan setiap tahun dan itu harus detail,” ujar Ellen.(IRE/HLN)

Artikel terkait

Leave a Reply

Back to top button