Transjakarta Hitung Denda bagi PPD
JAKARTA, KOMPAS — PT Transportasi Jakarta memastikan ada pelanggaran kontrak operasi oleh Perum Pengangkutan Penumpang Djakarta selaku operator Transjakarta. Pelanggaran itu adalah keterlambatan pengadaan bus. PT Transjakarta saat ini masih menghitung besaran denda atas pelanggaran tersebut.
Direktur Utama PT Transportasi Jakarta (Transjakarta) Budi Kaliwono, dalam kunjungan ke redaksi Kompas, Kamis (8/12), menyatakan, sesuai kontrak yang ditandatangani PT Transjakarta dan Perum Pengangkutan Penumpang Djakarta (PPD) tahun 2013, operasi bus seharusnya telah dimulai sejak 2014. Kontrak berlaku tujuh tahun hingga tahun 2021.
Akan tetapi, pengadaan bus terus tertunda. Sebanyak 28 bus dari total 59 bus yang direncanakan baru terealisasi akhir November 2016. Bus-bus itu berupa bus gandeng merek Zhong Tong yang dibeli PPD dari produsen di Tiongkok.
Sebelumnya, Selasa, Kepala Dinas Perhubungan dan Transportasi (Dishubtrans) DKI Andri Yansyah menyebutkan, jangka waktu pengadaan sesuai kontrak paling lambat pertengahan 2015. Namun, pada pertengahan 2014, Dishubtrans DKI mengajukan revisi spesifikasi bus, yakni perubahan panjang badan bus.
Perubahan mensyaratkan sertifikasi uji tipe dari Kementerian Perhubungan dan sertifikat baru keluar pada Agustus 2015. Oleh karena itu, kedua pihak merevisi kontrak dan jangka waktu pengadaan bus diperpanjang hingga September 2016.
Akan tetapi, lanjut Budi, dokumen perubahan kontrak itu belum jelas keberadaannya. Itu sebabnya, jika kontrak revisi tak ditemukan, pihaknya akan mengacu pada kontrak lama sebagai dasar penentuan sanksi denda bagi PPD.
Direktur Utama PPD Putu Pande Yasa, Selasa, menyatakan, pihaknya sempat mengalami masalah keuangan sehingga pengadaan bus-bus itu tertunda. Menurut dia, pembelian bus dilakukan untuk memenuhi kontrak. Bus-bus itu ditargetkan bisa beroperasi tahun 2017.
Bus medium
Budi menambahkan, selain pengadaan bus oleh perusahaan, pihaknya menempuh beberapa mekanisme lain terkait penambahan armada. Mekanisme itu, antara lain, melalui operator dan pembentukan badan usaha yang mewadahi operator-operator bus medium di Jakarta.
Para pemilik bus metromini, misalnya, ditawarkan bergabung dengan manajemen Transjakarta. Namun, pemilik metromini harus membeli bus baru yang diadakan oleh Transjakarta dengan cara mengangsur dan membayar uang muka Rp 75 juta. Bus-bus lama milik perseorangan itu dihargai Rp 10 juta dan diserahkan ke Transjakarta.
“Nantinya, bodi dan sasis (bus lama) akan kami jual kiloan. Sementara mesin dan transmisinya akan kami sumbangkan ke SMK-SMK di seluruh Jakarta (untuk keperluan praktik),” kata Budi.
Begitu bergabung dengan Transjakarta, pemilik bus tinggal menyiapkan sopir. Pembayaran pun akan dilakukan Transjakarta kepada pemilik berdasarkan sistem rupiah per kilometer.
“Mereka (pemilik metromini yang bergabung dengan Transjakarta) mendapatkan penghasilan tetap sebagai operator. Sebagian pendapatan disisihkan untuk pelunasan bus dan biaya perawatan,” kata Budi.
(MKN/HLN)