Limbah Amonia Cemari Kali
Sanksi Masih Lemah, Belum Memberi Efek Jera
JAKARTA, KOMPAS β Limbah mengandung amonia masih banyak ditemukan dibuang perusahaan pemilik apartemen atau gedung perkantoran. Limbah jenis ini berpengaruh terhadap kualitas dan daya dukung lingkungan, khususnya sungai. Penegakan sanksi masih kurang seiring masih lemahnya aturan pendukung yang ada.
Hasil pemantauan dan pengawasan Badan Pengelolaan Lingkungan Hidup Daerah (BPLHD) DKI Jakarta pada tahun ini, masih banyak perusahaan, terutama di bidang domestik (apartemen, perkantoran, dan pusat perbelanjaan), yang limbahnya belum memenuhi baku mutu. Sekitar 18 persen dari perusahaan sektor domestik yang melanggar, membuang limbah dengan kadar amonia yang melebihi baku mutu.
Kepala Bidang Pengawasan dan Pengendalian Pencemaran Lingkungan BPLHD DKI Mudarisin, Kamis (8/12), menyampaikan, dari sejumlah unsur limbah yang dianalisis, salah satu unsur yang paling banyak ditemukan melebihi baku mutu adalah kandungan amonia. Hal ini disebabkan sistem pengolahan limbah belum begitu diterapkan di lapangan.
“Pada dasarnya, sebagian besar perusahaan, khususnya apartemen, mal, atau perkantoran, memilliki sistem pengolahan limbah. Teknologinya juga sudah baik. Namun, aplikasinya belum sesuai di lapangan. Hal-hal yang harus diikuti tidak semua dijalankan sehingga hasilnya belum maksimal,” kata Mudarisin.
Dalam aturan, batas tertinggi kadar amonia terlarut dalam air yang diizinkan 10 miligram per liter (mg/l). Aturan ini berlaku secara nasional. Akan tetapi, hasil analisis menemukan, ratusan perusahaan domestik tersebut menghasilkan limbah amonia 12-15 mg/l.
Amonia terlarut dalam air berdampak banyak terhadap kondisi kali dan sungai. Selain berpengaruh terhadap biota, warna dan bau kali juga bisa terpengaruh dan mengganggu warga.
“Angka 18 persen ini sebenarnya telah turun dari tahun lalu yang mencapai 20 persen. Kami berupaya agar angka tersebut terus turun sehingga pengaruh amonia tidak begitu besar. Kami memberikan teguran hingga sanksi bagi mereka yang melanggar karena mereka pasti membuang limbah ke saluran atau kali,” lanjut Mudasirin.
Teguran dan sanksi
Dari laporan BPLHD, hingga Desember 2016 ini, ada 187 perusahaan dan instansi yang mendapat sanksi. Sebanyak 170 menerima teguran tertulis dan 17 lainnya mendapat sanksi paksaan. Sanksi ini didasarkan pada UU No 32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
Kepala Bidang Penegakan Hukum BPLHD Herry Permana menambahkan, secara kuantitas, pelanggar lingkungan pada 2016 ini masih banyak. Akan tetapi, tingkat pelanggarannya lebih rendah dibandingkan dengan sebelumnya. “Jika yang dulunya melanggar empat komponen, tahun ini turun menjadi dua atau satu. Ada yang melanggar pada prosedur pengelolaan limbah. Kami juga tidak memungkiri masih ada yang membandel,” ucap Herry.
Menurut Herry, sejumlah perusahaan yang melanggar pengelolaan limbah tidak hanya ditegur, tetapi juga disegel. Namun, ia mengakui, secara regulasi, aturan untuk menjatuhkan sanksi masih lemah karena belum didukung peraturan daerah.
Direktur Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Jakarta, Puput TD Putra, menyampaikan, sejauh ini, sanksi yang diberikan kepada pelanggar belum tegas dan memberi efek jera. “Berdasarkan pemantauan kami pada 2013, banyak instansi, khususnya rumah sakit, yang menyerahkan pengelolaan limbah kepada pihak ketiga. Untuk memantau instansi saja susah, apalagi memantau dan mengawasi pihak ketiga,” kata Puput.
(JAL)