Ke Stasiun Kok Susah?
Seorang bapak terlihat kebingungan. Biasanya, setelah melewati gerbang tiket Stasiun Tangerang, ia langsung menuju Jalan Ki Samaun. Kini, akses jalan utama itu sudah ditutup. Petugas satpam mengarahkannya untuk berjalan menuju pintu pagar yang berjarak sekitar 200 meter di sisi timur.
Bapak yang berusia lebih dari 65 tahun itu tidak punya pilihan selain harus memutar. Bersama penumpang lain, termasuk ibu-ibu yang membawa anak balita dan ibu hamil, ia harus melewati jalan tempat parkir sepeda motor menuju gerbang di sisi timur yang mengarah ke Jalan Ki Samaun.
Berjalan kaki 200 meter sebenarnya masih dalam jangkauan. Namun, bagi mereka yang berkebutuhan khusus, kondisi ini tak mudah dijalani. Apalagi, akses pejalan kaki di area stasiun itu bercampur dengan sepeda motor yang akan keluar stasiun.
Di luar pagar stasiun, angkot sudah berjajar menunggu penumpang. Jadi, penutupan akses keluar ke Jalan Ki Samaun itu tidak menghilangkan angkotngetem. Angkutan ini hanya berpindah tempat ngetem dari satu pintu ke pintu yang lain demi mengejar penumpang.
Luput diantisipasi
Urusan akses keluar stasiun ini kerap menyisakan masalah. Apalagi, tata kota di sejumlah stasiun belum mengakomodasi ledakan penumpang kereta rel listrik (KRL). Pada September 2013, jumlah penumpang KRL masih sekitar 500.000 orang per hari. Kini jumlahnya sudah 850.000 pengguna KRL setiap hari.
Kenaikan jumlah penumpang terjadi di semua lintas, termasuk Tangerang. Tak heran, sekali kereta tiba, penumpang turun bisa mencapai ratusan orang.
Kondisi ini membuat dampak lanjutan, seperti kebutuhan akan angkutan pengumpan. Masalahnya, sebagian besar angkutan perkotaan kita hari ini masih menganut sistem setoran. Artinya, sopir angkot harus berjibaku mencari cara untuk mendapatkan penumpang demi menutupi setoran.
Hal ini berbeda dengan angkutan umum yang memakai sistem pembayaran operasional berdasarkan ukuran lain, semisal jarak tempuh bus. Dengan sistem ini, sopir tidak terbebani dengan setoran, tetapi memiliki tanggung jawab untuk menyediakan pelayanan prima bagi penumpang. Persaingan di lapangan kian tajam, terlebih dengan kemudahan kepemilikan kendaraan pribadi serta tumbuh kembangnya ojek.
Persoalan lain adalah parkir kendaraan yang kerap memakan badan jalan. Belum lagi minimnya area untuk menaikturunkan penumpang di sekitar stasiun. Selain itu, di mana ada keramaian, pedagang kaki lima pun akan ikut meriung.
Ujung-ujungnya, jalan macet karena kendaraan mengantre panjang, sementara ruas jalan menyempit.
Di tengah semrawutnya lalu lintas Jabodetabek, antusiasme pengguna angkutan umum mesti diapresiasi. Penumpang selayaknya diberi berbagai kemudahan, termasuk akses yang nyaman untuk masuk-keluar stasiun. Karena itu, semua pemangku kebijakan selayaknya mau bersusah payah mencari cara untuk memanjakan pengguna angkutan umum. Itu kalau tidak ingin memelihara kemacetan.