Kliping

Menunggu Pemakaman Kelas Metropolitan Hadir di Jakarta

Tatkala masalah vaksin palsu belum reda, kasus makam-makam palsu mencuat. Hak publik yang menyangkut hajat hidup orang banyak lagi-lagi menjadi ajang mencari laba. Temuan makam fiktif makin membuka bobroknya pengelolaan makam Ibu Kota. Pemakaman selama ini serasa disepelekan. Toh, dibutuhkannya tidak setiap hari, begitu mungkin pikiran sebagian orang, termasuk pemangku pemerintahan.

Petugas pengamanan dalam (pamdal) di Tempat Pemakaman Umum (TPU) Tegal Alur, Jakarta Barat, Niman (41), mengungkapkan, jual-beli makam tidak akan terjadi tanpa diketahui petugas lapangan Dinas Pertamanan dan Pemakaman DKI Jakarta. Warga, tukang gali kubur, ataupun perawat makam hanya bertindak sebagai perantara. ”Sudah rahasia umum kalau pemakaman itu lahan basah. Banyak yang rebutan mau jadi kepala di sini. Ibaratnya jual 10 lubang sudah bisa beli mobil,” ujar Niman, Jumat (29/7).

Sebelum menjadi petugas pamdal, Niman bekerja delapan tahun sebagai penggali kubur di TPU itu. Ia kini bernapas lega karena memperoleh gaji dari Pemerintah Provinsi DKI Jakarta Rp 3,1 juta per bulan.

Makam palsu adalah makam yang mempunyai nisan, beridentitas, mempunyai surat izin penggunaan tanah makam, tetapi tak ada isinya. Makam-makam tersebut biasanya pesanan. Dari pembongkaran di Jakarta Pusat, Jakarta Barat, Jakarta Timur, dan Jakarta Selatan,ditemukan ratusan makampalsu.

Padahal, menurut Peraturan Daerah DKI Jakarta Nomor 3 Tahun 2007, tanah TPU tak seharusnya diperjualbelikan sebab merupakan hak publik. Ahli waris hanya dikenai biaya retribusi berkisar Rp 100.000 per tiga tahun. Praktik pemesanan makam membuat orang yang betul-betul membutuhkan harus berebut karena lahan makam terbatas.

Titi (59) yang telah memesan makam di TPU Tegal Alur mengatakan, dirinya memesan makam agar bisa dimakamkan di sebelah suaminya, yang meninggal pada 2011. Di sekitar makam itu sudah ada makam-makam lain yang dihiasi dengan nisan. Tempat yang dipesan Titi masih berupa tanah kosong datar.

”Ini anak saya yang memesan. Saya enggak mau menyalahkan petugas sini. Kami tahu kami salah. Kalau disuruh mengembalikan kepada pemerintah, saya ikhlas,” ujar Titi.

Menurut Titi, setiap bulan ia memberikan uang rokok dan biaya perawatan hampir Rp 350.000 untuk biaya perawatan makam kosong yang belum ia tempati. Saat ditanya siapa yang memberikan dia tempat itu, Titi tak mau banyak berkomentar.

Obrolan di warung nasi di TPU Pondok Ranggon, Jakarta Timur, mengungkap satu makam dihargai sekitar Rp 5 juta per petak. Namun, pasca pembongkaran 22 makam palsu di salah satu TPU terluas di Jakarta itu, petugas hingga penjual dan tukang parkir bungkam.

Pungli sulit diberantas

Selain makam palsu, praktik pungutan liar (pungli) di TPU juga masih sulit diberantas. Di TPU Utan Kayu, Jakarta Timur, setidaknya dua kali terungkap pungli. Pelakunya perawat makam yang merupakan warga sekitar dan telah bekerja di TPU Utan Kayu lebih dari 20 tahun. Namun, mereka bukan pekerja harian lepas (PHL) yang dikendalikan Dinas Pertamanan dan Pemakaman DKI Jakarta.

Pungli pertama terungkap awal Maret saat seorang warga diminta membayar Rp 4 juta untuk biaya pemakaman oleh perawat makam di TPU Utan Kayu. Padahal, biaya pemakaman di DKI Jakarta digratiskan sejak empat tahun lalu. Untuk memperoleh pelayanan pemakaman, warga cukup mendaftar di pelayanan terpadu satu pintu di setiap kelurahan.

Pungli serupa menimpa Aliyah (51), warga Sunter, Jakarta Utara, yang memakamkan anaknya, Reni Mariana (35), pada 17 Juli. Aliyah diminta membayar jasa pemakaman Rp 2,3 juta. Kasus pungli itu terungkap ketika suami almarhumah Reni, Ahmad, melapor lewat Qlue.

”Saya buta huruf, jadi tidak tahu bahwa pemakaman itu gratis,” ujar Aliyah.

Kepala TPU Utan Kayu Irfan Al Akram semula mengaku tak mengetahui perawat makam, MI, melakukan pemakaman tanpa melapor. Setelah didesak Kepala Sudin Pertamanan dan Pemakaman Jakarta Timur Christian Tamora Hutagalung, Irfan mengaku berada dalam tekanan preman dan warga sekitar. ”Saya pernah diancam agar tidak menyosialisasikan biaya pemakaman gratis kepada warga,” ujarnya.

Ketua Tim Investigasi Mafia Pungli Jaktim Muhaemin mengatakan butuh bantuan kepolisian untuk mengatasi preman di pemakaman. Di sisi lain, ia berjanji akan makin gencar sosialisasi pemakaman gratis.

Terkait kisruh makam, Kepala Dinas Pertamanan dan Pemakaman DKI Jakarta Djafar Muchlisin mengakui ada keterlibatan PHL dan PNS Dinas Pertamanan dan Pemakaman. Petugas tersebut sudah diberi sanksi tegas, yaitu dipecat dari jabatannya. Sejak Mei sudah ada 48 pengawas makam yang dimutasi karena terlibat kasus makam fiktif.

Mereka dimutasi dan tidak mendapatkan posisi jabatan tinggi. Delapan PHL dipecat karena ketahuan terlibat dalam kasus makam fiktif.

Ruang, agama, budaya

Ahli tata ruang dan arsitektur Prof Abidin Kusno menuturkan, lahan pemakaman sudah harus mulai didiskusikan dalam perencanaan kota. Selama ini, makam di perkotaan jarang disinggung dalam kajian tata ruang di Indonesia. Padahal, pemakaman kebutuhan semua orang serta mempunyai berbagai dimensi agama dan budaya.

Kota-kota besar seperti Hongkong dan Singapura pernah mengalami hal sama. Namun, solusi di kota-kota itu tak bisa serta-merta diterapkan di Indonesia sebab pemakaman erat terkait dengan keyakinan agama dan budaya. Selain faktor ketersediaan, faktor kedekatan dengan keluarga juga perlu menjadi pemikiran.

Deputi Gubernur DKI Jakarta Bidang Tata Ruang dan Lingkungan Oswar Muadzin Mungkasa mengatakan, kebutuhan lahan pemakaman sudah masuk dalam rencana tata ruang DKI Jakarta. Ia memastikan kebutuhan tetap aman hingga setidaknya 2030.

Dengan jumlah kematian rata-rata 250 per bulan di Jakarta Selatan saja perluasan area makam sulit disamakan dengan laju kebutuhan. Lahan pemakaman yang kian langka di Jakarta membuat kematian pun menjadi ajang mencari untung di atas duka keluarga.

(MDN/IRE/DEA/C04)

Artikel terkait

Leave a Reply

Back to top button