Berkomplot Tilap Lahan Makam
Berkomplot Tilap Lahan Makam
Ketegangan terasa di Tempat Pemakaman Umum Pondok Ranggon, Jakarta Timur, seusai razia makam-makam fiktif oleh Suku Dinas Pertamanan dan Pemakaman Jakarta Timur. Juru pelihara makam, tukang parkir, hingga penjual di warung-warung sekitarnya bungkam mengenai makam palsu.
Mereka mengaku tak tahu mengenai transaksi makam fiktif atau akrab disebut makam pesanan tersebut. ”Dulu memang boleh, tetapi sekarang sudah tidak boleh lagi. Tidak ada lagi,” kata Nenek Suratin (65), salah satu pedagang nasi di sana, Selasa (26/7).
Dalam obrolan santai berikutnya, tergambar sekilas bagaimana transaksi makam pesanan ini berlangsung. Orang yang memesan biasanya anggota keluarga orang yang sudah dimakamkan di tempat pemakaman umum (TPU) tersebut. Caranya dengan menghubungi calo-calo yang ada di sana. Konon, tarif memesan satu makam di Pondok Ranggon ini berkisar Rp 5 juta atau sesuai kesepakatan dengan calo. Jumlah ini belum termasuk biaya pemeliharaannya.
Guna mengelabui petugas, makam palsu tetap diberi penanda atau bahkan batu nisan. Kondisinya juga terawat, seperti terlihat di dua makam yang dibongkar pada Selasa siang. Dua makam itu ditutupi dengan rumput yang terpelihara baik.
Namun, apabila diamati dengan jeli, sebenarnya makam palsu mempunyai tanda tertentu. Penandanya sering kali terlalu sederhana, tanpa identitas jelas, ataupun hanya ditulis ”bayi”. Dua makam yang baru saja dibongkar itu dinamai ”Nova” dan ”Novi” dengan tanggal lahir dan kematian sama, yaitu 10/10/2015.
Kepala Seksi TPU Sudin Pertamanan dan Pemakaman Jakarta Timur Sus Herwanto mengatakan, sejauh ini di Jakarta Timur sudah ada 63 makam terindikasi makam palsu. Lokasinya tersebar di empat lokasi, yaitu TPU Pondok Ranggon sebanyak 28 petak, TPU Pondok Kelapa 25 petak, TPU Penggilingan sebanyak 4 petak dan TPU Utan Kayu sebanyak 6 petak.
Di Pondok Ranggon, dari 28 petak tersebut, 10 sudah digali dan terbukti tak ada isinya. Adapun tiga lainnya diketahui makam asli, tetapi ahli warisnya belum mengurus izin penggunaan tanah makam (IPTM). Biaya pemakaman di TPU sangat murah. ”Retribusi IPTM ini hanya Rp 100.000 tiap tiga tahun. Nanti setelah tiga tahun harus diperbarui lagi. Kalau tidak, makam bisa ditumpuki,” kata Sus.
Menurut Sus, melacak makam palsu ini tak mudah. Indikasi awal biasanya terlihat dari gundukan tanah yang dirawat baik, tetapi dengan penanda yang mencurigakan. Setelah melihat keganjilan ini, petugas harus mencocokkan dengan data yang ada di kantor TPU. Jika memang tak ada datanya, pihaknya berusaha mencari ahli warisnya dulu. Baru kalau memang oleh ahli waris dipastikan tidak ada isinya atau ahli waris tak bisa ditemukan, dibongkar, katanya.
Pengurus TPU Pondok Ranggon, Jasmin Rifa’i Siregar, mengatakan, saat ini jumlah makam di Pondok Ranggon sekitar 64.000 petak. Petugas sangat sedikit. ”Hanya saya sendiri PNS bertugas di sini,” ucapnya.
Calo misterius
Hingga sekarang, para calo yang menjadi ujung tombak dalam transaksi ini masih misterius. Para petugas TPU memilih bungkam, ahli waris pun tak pernah datang. ”Yang biasa ngurusi makam palsu ini bilang mereka tidak tahu kalau makam tak ada isinya. Mereka hanya diminta merawat,” kata Sus.
Praktik ini berpotensi membuat biaya pemakaman melambung. Warga yang betul-betul membutuhkan tanah makam kemungkinan harus membayar lebih tinggi dari yang sudah ditetapkan. Apalagi, saat ini tanah makam semakin langka.
Di TPU Pondok Ranggon saja rata-rata ada 15 orang membutuhkan makam dalam sehari. Adapun TPU-TPU yang padat seperti TPU Utan Kayu justru sudah ditutup.
Dipopulerkan Basuki
Istilah makam fiktif populer sepekan terakhir. Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama membuka praktik jual-beli aset TPU ini kepada publik. Sejumlah petugas dan pejabat telah dipecat dan terancam pidana karena mengomersialkan lahan makam publik dan menyembunyikan identitas isinya.
Menurut Peraturan Daerah (Perda) DKI Jakarta Nomor 3 Tahun 2007 tentang Pemakaman, tarif retribusi pelayanan pemakaman berkisar Rp 40.000 hingga Rp 100.000. Letak makam menentukan besaran tarif. Retribusi Blok AA1, misalnya, ditetapkan Rp 100.000 karena lokasinya dekat dengan akses jalan atau gerbang keluar-masuk. Pemerintah juga mengalokasikan sekitar 5 persen dari luas area pemakaman untuk Blok A3, yakni blok yang digratiskan bagi warga miskin.
Retribusi dibayarkan pada proses pengurusan izin di kantor Pelayanan Terpadu Satu Pintu baik di tingkat kelurahan, kecamatan, maupun kota. Syaratnya, pemohon melengkapi sejumlah syarat, yakni kartu tanda penduduk DKI Jakarta, kartu keluarga, surat keterangan kematian dari rumah sakit, puskesmas, dan kelurahan, serta keterangan tidak mampu bagi warga miskin.
”Akan tetapi, ada oknum (dinas pertamanan dan pemakaman) nakal. Makam-makam itu dikasih nisan. Kalau ada yang mau bayar Rp 10 juta bisa digali, biasanya di area depan pemakaman,” kata Basuki pekan lalu.
Pengaburan identitas penghuni makam merupakan hal terlarang. Pada Pasal 37 Perda 3 Tahun 2007 disebutkan bahwa petak tanah makam TPU hanya diperuntukkan bagi jenazah atau kerangka dan tidak diperbolehkan untuk pesanan persediaan bagi orang yang belum meninggal dunia.
Kepala Bidang Tempat Pemakaman Umum Dinas Pertamanan dan Pemakaman DKI Jakarta Siti Hasni mengklaim telah mengecek 230 petak makam fiktif, antara lain di TPU Karet Pasar Baru, TPU Kawi-kawi, dan TPU Karet Bivak. Pengecekan akan dilakukan juga di TPU Tanah Kusir di Jakarta Selatan dan Tegal Alur di Jakarta Barat.
Dengan penduduk yang terus bertambah, lahan tersedia yang kian sempit, problem pemakaman dinilai bakal lebih pelik. Ketegasan aturan dan penegakan hukum diharapkan meminimalkan persoalan layanan pemakaman umum.
(IRENE SARWINDANINGRUM/ MUKHAMAD KURNIAWAN)