Kliping

Konsep Berimbang Perlu Diperjelas

JAKARTA, KOMPAS — Konsep hunian berimbang yang diatur di dalam Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun 2016 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman perlu diperjelas. Hal itu terutama terkait dengan rasio atau komposisi hunian berimbang yang tidak tercantum dalam PP tersebut.

“Menurut saya, PP No 14/2016 ini tidak bisa langsung dilaksanakan karena masih ada ruang abu- abu. Perlu ada peraturan yang lebih detail tentang komposisi hunian berimbang,” tutur Ketua Umum Asosiasi Pengembang Perumahan dan Permukiman Seluruh Indonesia Eddy Ganefo, Jumat (8/7), di Jakarta.

Dalam Pasal 21 PP No 14/2016 disebutkan, badan hukum yang melakukan pembangunan perumahan wajib mengimplementasikan konsep hunian berimbang. Hunian berimbang dilakukan dalam satu hamparan atau bisa dilaksanakan dalam satu daerah kabupaten/kota, kecuali DKI Jakarta dalam satu provinsi. Pengecualian kewajiban hunian berimbang ditujukan bagi badan hukum yang membangun seluruh perumahan berupa rumah umum. Meski demikian, rasio atau komposisi hunian berimbang tidak dicantumkan dalam PP tersebut.

Menurut Eddy, komposisi atau rasio hunian berimbang perlu diatur lebih lanjut. Dengan demikian, pengembang bisa mengikuti aturan yang lebih jelas.

Komposisi atau rasio hunian berimbang dapat berupa 1:3:6 atau 1:2:3 sebagaimana tercantum dalam Peraturan Menteri Perumahan Rakyat Nomor 7 Tahun 2013 tentang Penyelenggaraan Perumahan dan Kawasan Permukiman dengan Hunian Berimbang. Dengan konsep 1:3:6, pengembang yang membangun satu rumah mewah diwajibkan membangun tiga rumah menengah dan enam rumah sederhana.

Definisi

Eddy menambahkan, batasan hunian berimbang perlu diperjelas, misalnya dengan batasan luas rumah atau batasan harga rumah. Sejauh ini, batasan paling jelas konsep hunian berimbang ada pada rumah sederhana yang merujuk rumah bagi masyarakat berpenghasilan rendah karena memiliki standar harga yang ditentukan oleh pemerintah.

“Kalau batasannya tidak jelas, pengembang bisa berkelit. Untuk itu, harus ada batasannya harus jelas. Bahaya juga kalau ada pasal kompromi yang justru menguntungkan pemburu rente,” ujar Eddy.

Sebelumnya, Direktur Jenderal Penyediaan Perumahan Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Syarif Burhanuddin mengatakan, komposisi atau rasio 1:2:3 untuk hunian berimbang masih menjadi pegangan. Sebab, penentuan komposisi tersebut berdasarkan kajian ilmiah.

“Pengawasan dan pengendalian hunian berimbang akan diatur melalui peraturan daerah. Pemerintah pusat akan merevisi permenpera tentang hunian berimbang agar dapat dijadikan petunjuk pembuatan perda,” tutur Syarif.

Ketua Umum Lembaga Pengkajian Pengembangan Perumahan dan Perkotaan Indonesia Zulfi Syarif Koto menilai, maksud hunian berimbang yang diatur dalam PP No 14/2016 tidak jelas. “Maka, harus dilihat kembali maksud dari Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman,” katanya.

Zulfi menyebutkan, dalam UU No 1/2011, perihal hunian berimbang disebutkan dalam Pasal 34, 36, dan 37. Meski demikian, perihal komposisi atau hunian berimbang tidak disebutkan. Menurut Zulfi, tugas menyediakan rumah bagi masyarakat berpenghasilan rendah merupakan tugas negara, bukan swasta. Tugas tersebut dilakukan dengan membangun rumah umum, rumah khusus, dan rumah swadaya bagi masyarakat. (NAD)

Artikel terkait

Leave a Reply

Back to top button