DKI Putus Kontrak Pengelola Bantargebang
Dua Perusahaan Harus Tinggalkan Lokasi dalam 60 Hari
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah Provinsi DKI Jakarta memutus kontrak kerja sama pengelolaan Tempat Pengolahan Sampah Terpadu Bantargebang, Kota Bekasi. Dua pengelola, yakni PT Godang Tua Jaya dan PT Navigat Organic Energy Indonesia, dinilai gagal. Kerja sama itu juga dianggap merugikan keuangan daerah.
Kepala Dinas Kebersihan DKI Jakarta Isnawa Adji, Selasa (19/7), menyatakan, pemutusan kontrak diambil setelah tiga kali peringatan sejak Oktober 2015. Surat peringatan (SP) ketiga sejatinya dijadwalkan awal Januari 2016, tetapi ditunda karena menunggu hasil pemeriksaan auditor independen. “Kami layangkan (surat pemutusan kontrak) hari ini (Selasa),” ujarnya.
Kontrak kerja sama yang ditandatangani 5 Desember 2008 itu seharusnya berakhir 2023.
Pemutusan kontrak menjadi fase baru pengelolaan sampah Ibu Kota. Isu pemutusan kontrak berembus sejak tahun lalu, sejalan dengan hasil temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) terkait dengan kerja sama pengelolaan TPST Bantargebang.
Dalam Laporan Hasil Pemeriksaan Keuangan DKI Jakarta Tahun 2014, BPK menilai, perjanjian kerja sama Dinas Kebersihan DKI Jakarta dengan PT Godang Tua Jaya (GTJ) dan PT Navigat Organic Energy Indonesia (NOEI) berpotensi merugikan keuangan daerah. Empat kali perubahan (adendum) atas nota kerja sama itu menyangkut poin penting terkait pembayaran dan penerimaan keuangan. Namun, perubahan tak melibatkan gubernur sebagai kepala daerah.
Tahun 2015, temuan BPK berulang. BPK menyebut ada potensi kerugian minimal Rp 1,2 miliar karena penimbangan sampah tidak dilakukan berdasarkan data berat kosong truk yang diperbarui secara periodik.
Selain itu, ada potensi pajak penghasilan Pasal 23 atas transaksi yang tidak disetor dengan nilai setidaknya Rp 15,5 miliar. Ada pula potensi denda kelalaian Rp 9,5 miliar atas pembangunan gasifikasi yang terlambat.
Menurut Isnawa, pihaknya memberikan waktu 60 hari kepada GTJ dan NOEI untuk meninggalkan lokasi. Selain itu, Dinas Kebersihan bersiap mengelola TPST Bantargebang secara mandiri dengan merekrut semua tenaga kerja yang selama ini terlibat dan menyiapkan peralatan untuk pengolahan sampah.
Terkait dengan pemutusan itu, manajemen GTJ dan NOEI menyatakan belum menerima pemberitahuan resmi.
Direktur Utama PT NOEI Michael Mangowal menyatakan, pihaknya akan memberikan tanggapan setelah menerima surat pemutusan kontrak kerja sama.
Dalam sejumlah kesempatan, Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama menyatakan keinginannya untuk mengambil alih TPST Bantargebang. Menurut dia, anggaran ratusan miliar rupiah yang digelontorkan Pemprov DKI setiap tahun tidak sebanding dengan yang diperoleh warga Jakarta dan sampah tidak tertangani dengan baik.
Sengketa lahan
Di Jakarta Barat, petugas gabungan yang terdiri dari Biro Hukum; Asisten Pembangunan; Satuan Polisi Pamong Praja; Dinas Kelautan, Pertanian, dan Ketahanan Pangan (KPKP); serta Pemkot Jakarta Barat mengecek kondisi lahan bersengketa di Cengkareng Barat, kemarin. Pengecekan dilakukan untuk mempertegas batas lahan milik DKI dan terkait upaya hukum sengketa lahan dengan pihak ketiga.
Menurut Asisten Sekretariat Daerah Bidang Pemerintahan Bambang Sugiyono, DKI memiliki lahan seluas 10,1 hektar. Lahan dibeli bertahap tahun 1957 dan 1967. Tanah lalu menyusut menjadi 9,6 hektar setelah ada pembangunan Jalan Lingkar Luar dan Jalan Tol Cengkareng.
Saat ini, lahan yang ditempati dan dikelola oleh Kebun Bibit Dinas KPKP hanya seluas 9.000 meter persegi. Sisanya, sebanyak 8,7 hektar, berstatus sengketa dengan dengan PT SG.
Willien Bonger, Seksi Pertanian dan Kehutanan Sudin KPKP Jakbar, mengatakan, awalnya di lokasi sengketa itu sudah dibangun kebun bibit yang luas sesuai zonasinya. Di situ juga dibangun danau dan alat-alat penyiram (sprinkle) otomatis.
Tak lama setelah pembangunan, tanah diuruk PT SG. Mereka mengklaim memiliki lahan di lokasi itu. “Sejak 2007, kami memproses sengketa tanah itu. Tahun 2013, kami menang di peninjauan kembali (PK) di Mahkamah Agung,” kata Bambang.
Menurut dia, status hukum dalam sengketa perdata itu sudah berkekuatan hukum tetap. Keputusan MA juga menyebutkan, PT SG harus membayar Rp 6,9 miliar untuk kerugian yang ditimbulkan akibat sengketa itu.
Kini, lahan kosong dipenuhi tanaman liar dan alang-alang tinggi. Di sekeliling lahan dipasang tembok pembatas setinggi lebih kurang 2 meter. Di dalam tembok terpasang sejumlah spanduk, ada yang bertuliskan tanah tidak dijual dan ada yang bertuliskan tanah dijual.
Yayan Suhana, Kepala Biro Hukum DKI Jakarta, mengatakan segera berkoordinasi dengan Badan Pengelola Keuangan dan Aset Daerah untuk menginventarisasi ulang aset di Cengkareng Barat. Menurut dia, lahan di situ sudah diurus legalitas sertifikatnya. Namun, karena berstatus sengketa, pengurusan legalitas itu berulang kali gagal. Ia juga segera mengirimkan somasi kepada PT SG.
Pemprov juga melaporkan Toeti Noeziar Sukarno atas dugaan pemalsuan dokumen pendukung sertifikat di sebagian lahan yang sama. Adapun pihak Toeti juga melaporkan DKI dengan tuduhan mengklaim dan memasukkan lahan itu ke inventaris pemerintah. (DEA/MKN)