JAKARTA, KOMPAS — Biro Hukum Pemerintah Provinsi DKI Jakarta terus menginvestigasi pembelian lahan di Cengkareng Barat, Jakarta Barat, khususnya dari aspek keaslian dokumen pendukung penerbitan sertifikat. Biro Hukum bahkan telah melaporkan tindak pemalsuan dokumen ke polisi.
Haratua Purba, Kepala Subbagian Bantuan Hukum Biro Hukum Pemprov DKI, Kamis (30/6), menyebutkan, pembelian tanah seluas 4,6 hektar pada November 2015 dilakukan karena ada sertifikat hak milik tanah atas nama perseorangan.
Namun, dalam pemeriksaan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) diketahui, tanah yang dibeli Dinas Perumahan dan Gedung Aset Pemerintah (DPGAP) DKI itu adalah lahan milik Pemprov DKI sendiri, tepatnya milik Dinas Kelautan, Peternakan, dan Ketahanan Pangan (DKPKP) DKI. ”Nah, ini yang kami tengah telusuri. Kenapa bisa pemprov membeli lahan milik sendiri,” ujar Purba.
Dalam penelusuran Biro Hukum, lahan seluas 4,6 hektar itu ternyata merupakan bagian dari lahan seluas 10,1 hektar milik DKPKP. Lahan itu tercatat sebagai aset pemprov di Badan Pengelola Keuangan dan Aset Daerah (BPKAD) DKI.
Purba mengakui, lahan ini belum bersertifikat atas nama pemprov. Lahan itu tercatat sebagai aset pemprov dengan dokumen berbentuk girik C. Ada lebih dari enam girik lahan yang dibeli Pemprov DKI pada 1957 dan 1967 itu.
”Pada 1957, (Pemprov DKI) beli lahan seluas 5 hektar. Lalu pada 1967 beli lagi seluas 5,1 hektar. Lahan itu dipakai sebagai kebun bibit oleh DKPKP, jadi bukan lahan pelimpahan dari Departemen Pertanian. Dokumen yang dimiliki masih berbentuk girik C dan surat pelepasan tanah,” papar Purba, kemarin.
Hanya Sebagian
Oleh DKPKP, lahan itu tak dipakai seluruhnya. Sebagian saja yang dikembangkan sebagai kebun bibit. Sebagian lagi terkena pembangunan jalan tol lingkar luar sehingga luasnya menciut menjadi 9 hektar.
Hari Rabu (29/6), Wakil Kepala Badan Pengelola Keuangan dan Aset Daerah (BPKAD) DKI Michael C Barat mengatakan, lahan tersebut merupakan lahan milik DKPKP sebagai hasil pelimpahan dari Departemen Pertanian tahun 1957.
Untuk memperkuat legalitas, biro hukum sudah meminta DKPKP untuk meningkatkan sertifikat lahan, dari girik C ke sertifikat hak pengelolaan/pakai (SHP). Namun, proses itu tak kunjung usai hingga kini.
Sampai pada 2007, pengusaha DL Sitorus, pemilik PT Sabar Ganda, mengklaim lahan itu. Sitorus dan Pemprov DKI saling menggugat di pengadilan hingga Mahkamah Agung memenangkan Pemprov DKI pada 2010.
Empat tahun kemudian, muncul Toeti Noezlar Soekarno, warga Jalan Dedes, Kota Bandung, yang mengabarkan memiliki sertifikat atas lahan itu. Ia lalu menawarkannya kepada pemerintah dengan harga pasar Rp 17,5 juta per meter persegi pada Juli tahun lalu. Namun lalu muncul kesepakatan, Dinas Perumahan dan Gedung Aset Pemerintah membeli lahan di harga Rp 14,1 juta.
Wakil Gubernur DKI Jakarta Djarot Saiful Hidayat menyebut, dengan adanya temuan BPK dan munculnya gugatan, pendataan aset oleh pemda memang kacau. Ia menyatakan, pemda, dalam hal ini BPKAD, mesti memperbaiki inventarisasi aset pemda, khususnya aset tidak bergerak, seperti tanah dan gedung.
Michael, Rabu, menyebutkan, setelah pelimpahan aset, lalu diikuti pembebasan lahan pada 1967. Lahan itu dimiliki Pemprov DKI dengan dokumen berbentuk girik yang kemudian diurus peningkatan sertifikatnya di Badan Pertanahan Nasional (BPN), tetapi sampai saat ini sertifikat belum terbit.
Michael menyebut, Pemprov DKI kecolongan. Karena tiba-tiba ada orang yang menggugat pemprov dan mengaku tanah itu bersertifikat atas namanya, yaitu Toeti Noezlar Soekarno.
Ketika DPGAP membelilahan itu untuk rusunawa,lanjut Purba, diketahui lahan itu sudah bersertifikat hak milik atas nama lima orang, salah satunya Toeti Noezlar Soekarno.”Sertifikat lahan itu ada tiga.Satu terbit tahun 2014, dua sertifikat terbit tahun 2015,” ujar Purba.
Biro Hukum menemukan, sertifikat tersebut asli karena memang diterbitkan BPN. ”Namun, kami menduga data pendukung terbitnya sertifikat itu palsu.Sertifikat itu bisa terbit dengan dasar laporan kehilangan atas girik. Nah, girik yang dilaporkan itu tak pernah ada dan tanahnya juga tak ada,” ujar Purba.
Girik Hilang
Dalam laporan polisi, girik yang dilaporkan hilang dan menjadi dasar penerbitan sertifikat adalah girik C 148 persil 91 S 3. Padahal, menurut Kepala Subbagian Bantuan Hukum Biro Hukum Pemprov DKI Haratua Purba, girik atas lahan milik DKPKP itu bernomor beda dan ada lebih dari 6 girik.
Terkait dokumen pendukung untuk penerbitan sertifikat, ujar Purba, biro hukum juga mendapati fakta. Yang menunjukkan batas tanah adalah kepala bidang perumahan yang juga ketua tim pembeli. Padahal, untuk penunjukan batas tanah harusnya penjual.
”Nah, keaslian dokumen pendukung penerbitan sertifikat ini masih terus kami tangani dan telusuri,” ujar Purba.
Terkait temuan itu, Biro Hukum sudah melaporkan kasus ini ke Bareskrim Mabes Polri, Rabu (29/6). ”Pelaporan lebih kepada pemalsuan dokumen pendukung untuk penerbitan sertifikat tanah,” ujar Purba.
Sesuai prosedur
Kepala DPGAP DKI Ika Lestari Aji menjelaskan, pembelian lahan dengan harga Rp 648 miliar itu sudah sesuai prosedur karena ada sertifikat asli dari BPN.Yang menangani pembelian, ujar Ika, adalah kepala bidang perumahan. Ia kini merasa tertipu oleh pihak penjual lahan.
Penyelidikan Sertifikat
Kepala DPGAP DKI Ika Lestari Aji menjelaskan, kepala bidang itu yang berhubungan dengan penjual. “Adapun penjual tidak berhubungan langsung, tetapi melalui kuasa notaris. Saat pembelian, ujar Ika, ia yakin DPGAP sudah melakukan penyelidikan sertifikat. Karena sebelum membeli sempat ada pertemuan antara lurah, camat, penjual, BPN, juga dari DPGAP.
Tentang kuasa hukum penjual tersebut, Kepala Subbagian Bantuan Hukum Biro Hukum Pemprov DKI Haratua Purba menambahkan, dari penelusuran biro hukum, notaris yang dipakai adalah notaris biasa. Padahal, untuk jual beli tanah, notaris yang dipakai seharusnya adalah notaris yang juga pejabat pembuat akta tanah (PPAT).
”Dari sini saja sudah bisa dipahami. Jual beli harus melalui notaris PPAT. Ini tidak ada PPAT-nya. Harusnya batal demi hukum,” ujar Purba.
Ditemui terpisah, Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama menyatakan akan mencopot Ika Lestari Aji dari jabatannya saat ini. ”Mungkin besok (Jumat),” ujar Basuki.
Pasrah Saja
Kepala DPGAP DKI Ika Lestari Aji menyatakan, ia pasrah saja dengan keputusan itu. ”Itu kewenangan pimpinan. Tetapi saya jujur tidak bermain uang di kasus ini. Saya juga tidak mengikuti prosesnya, karena memang pembelian diserahkan kepada pejabat pembuat komitmen,” ujar Ika.
(HLN)