“Turn Back” Ada Polisi!
Peristiwa yang kini menjadi pemandangan sehari-hari adalah semakin ironisnya lalu lintas di jalanan Ibu Kota. Seperti dimuat di Kompas (Jumat, 17/6), di ruas Jalan Kyai Tapa, Grogol Jakarta Barat, satu lajur khusus bus transjakarta kosong melompong sepanjang mata memandang. Hanya satu bus transjakarta berwarna biru melenggang tanpa hambatan.
Sementara di tiga lajur sebelahnya, kendaraan roda empat hingga sepeda motor tumplek blek, berjubel tak bergerak. Mereka lebih mirip parkir di jalan daripada mengalir sebagaimana mestinya. Di dalamnya, ada sopir dan penumpang yang tak sabar, emosional, dan putus asa menghadapi kemacetan.
Dipastikan lajur bus steril seperti itu karena dijaga ketat oleh aparat kepolisian. Jika tidak, pemandangan yang tampak akan menggelikan, yakni betapa lajur bus itu dipenuhi ratusan-mungkin juga ribuan-sepeda motor. Sekilas lajur khusus bus lebih mirip lajur khusus sepeda motor. Kelakuan para pengendara sepeda motor tersebut lebih mirip sebuah “perlawanan” terhadap sistem lalu lintas yang sedang dibangun Pemprov DKI Jakarta.
“Ya, apa salahnya kita berbagi jalanan. Toh lajur bus kosong juga,” ujar seorang pengendara kendaraan bermotor saat ditanya alasan dirinya memasuki lajur khusus bus. Di beberapa ruas koridor transjakarta, dibuat portal untuk mencegah kendaraan selain transjakarta memasuki lajur khusus. Tetapi, para pengendara motor akan guyub merangsek masuk lajur khusus dan memaksa petugas penjaga menyerah dengan membuka portal dan membiarkan para pengendara motor membanjiri lajur khusus bus. Pilihan itu diambil agar jalanan tak mengunci sehingga justru menyulitkan transjakarta lewat.
Pemandangan lucu dan konyol akan terlihat ketika di depan lajur khusus bus tersebut ada polisi lalu lintas yang berjaga. Para pengendara motor berbalik, melawan arah demi “mencari selamat” dari tilang polantas.
“Turn Back Ada Polisi!” merupakan pelesetan dari kampanye Interpol “Turn Back Crime” yang lagi tren diterakan di kaus yang kerap dipakai polisi ataupun masyarakat umum.
Bagi mereka yang “telah sadar” dan memungkinkan, memilih kendaraan umum di Jakarta adalah yang terbaik. Daripada manyun di jalanan bisa lebih dari dua jam untuk jarak sekitar 20 kilometer, mending berdesak-desakan di KRL selama 20 menitan saja. Jika beruntung atau tidak pada saat jam sibuk, keadaan kendaraan umum lebih nyaman lagi.
Sudah mulai banyak orang yang mulai meninggalkan kendaraan pribadinya di rumah. Apalagi jasa ojek berbasis aplikasi kini siap mengantar dan menjemput di mana saja apabila pengguna angkutan umum terdesak waktu untuk sampai ke tujuan. Di parkiran stasiun yang semakin padat, kini juga mulai terparkir kendaraan-kendaraan sekelas Toyota Fortuner.
Di sejumlah stasiun pinggiran Jakarta, terlihat pemerintah setempat kedodoran menyiapkan perubahan pola perjalanan warga yang memilih transportasi publik seperti itu. Jalanan seputar stasiun pun kemudian penuh dengan taksi atau angkutan umum yang ngetem menunggu penumpang atau kendaraan pribadi yang menjemput penumpang turun dari kereta.
Jika saja pemerintah konsisten dan memiliki kemauan politik yang kuat untuk menata transportasi publik, target 40 persen pergerakan orang difasilitasi angkutan umum pada tahun 2019 bukanlah hal yang tidak mungkin. Pengguna angkutan umum yang hanya 24 persen saat ini bisa bergerak naik.
Alasan orang masih enggan menggunakan angkutan umum sebenarnya sudah diketahui. “Sekarang masyarakat menjauhi kendaraan umum karena tidak jelas busnya di mana, kapan datangnya, dan naik kendaraan umum amburadul,” ujar Kepala Badan Pengelola Transportasi Jabodetabek (BPTJ) Elly Sinaga. (Kompas, 17/6). Semoga perbaikan segera nyata di Jabodetabek!
AGUS HERMAWAN