Kliping

Hitung Penurunan Tanah di Teluk

JAKARTA, KOMPAS — Penurunan tanah di laut Teluk Jakarta belum menjadi kajian dalam pembangunan di Jakarta, khususnya terkait reklamasi. Padahal, reklamasi menambah beban di atas teluk. Sejumlah aspek geologi mendesak ditelaah lebih lanjut sebelum dampak pembangunan memburuk.

Ketua Ikatan Ahli Geologi Indonesia Sukmandaru Prihatmoko menuturkan, struktur bawah laut Teluk Jakarta sudah seharusnya menjadi perhatian dalam proses reklamasi. Sebab, dengan sedimen di Teluk Jakarta yang termasuk sedimen lunak tentu membutuhkan kompaksi dalam waktu lama.

”Dalam pertemuan-pertemuan kami, ada sejumlah hal yang menjadi catatan terkait reklamasi, salah satu yang utama adalah terjadinya land subsidence. Ada sejumlah temuan dari temanteman yang perlu dipertimbangkan,” ujar Sukmandaru, Kamis (16/6).

Penurunan tanah di daratan dan wilayah laut, tambah Sukmandaru, terjadi salah satunya karena faktor alamiah. Karena itu, saat ada penambahan beban, laju penurunan bisa semakin tinggi. Belum lagi terkait tingginya sedimentasi dari lumpur yang terbawa aliran sungai.

Penurunan tanah di wilayah daratan Jakarta terus terjadi dari tahun ke tahun. Penelitian menunjukkan penurunan berkisar 0-25 cm dalam setahun. Penurunan ini terjadi karena ekstraksi air tanah dalam berlebihan, konsolidasi alamiah, dan adanya pembebanan.

Ahli hidrogeologi Fakultas Ilmu dan Teknologi Kebumian Institut Teknologi Bandung, Lambok M Hutasoit, menuturkan, penurunan tanah di dasar Teluk Jakarta sangat besar kemungkinannya terjadi. Selain itu, ekstraksi air tanah dalam berlebihan di daratan sedikit banyak berpengaruh di daerah teluk.

”Konsolidasi tanah di lapisan batuan Jakarta itu terus terjadi, lalu diiringi pengambilan air tanah dalam berlebihan, tanah di Jakarta ambles. Begitu juga ketika ada beban di atas laut, tentu (tanah) di Teluk Jakarta juga akan ambles,” ucap Lambok.

Masalahnya, tambah Lambok, sampai saat ini belum ada kajian mendalam terhadap laju penurunan tanah di Teluk Jakarta. Pengujian bisa dilakukan dengan melakukan pengeboran lapisan tanah lalu mengambil sampel tanah di setiap lapisan. Hal ini dimaksudkan untuk mengetahui jenis dan sifat tanah. Selain itu, dilakukan pula pemasangan alat ekstensometer untuk pemantauan. Kajian penurunan tanah harus dilakukan secara regional dengan menghitung seluruh wilayah reklamasi dan beban yang akan menimpa dasar lautan.

Reklamasi Teluk Jakarta seluas 5.100 hektar membutuhkan material urukan ratusan juta meter kubik. Untuk pasir, misalnya, dibutuhkan 622,75 juta meter kubik atau setara 52 juta truk pengangkut dengan asumsi satu truk mengangkut 12 meter kubik.

Izin lingkungan siap

Kepala Bidang Pencegahan Dampak Lingkungan Badan Pengelola Lingkungan Hidup Daerah (BPLHD) DKI Jakarta Andono Warih menjelaskan, Balai Besar Wilayah Sungai CiliwungCisadane (BBWSCC) selaku pemrakarsa kegiatan tanggul fase A Pembangunan Kawasan Pesisir Terpadu Ibu Kota Nasional (NCICD) sudah mengembalikan berkas analisis mengenai dampak lingkungan (amdal) yang disertai catatan.

”Sudah ada perbaikan dari BBWSCC sesuai catatan BPLHD dalam berkas amdal yang dinilai oleh BPLHD DKI selaku komite penilai. BWSCC juga sudah mengembalikan berkas itu akhir pekan lalu,” ujar Andono, kemarin.

Sesuai prosedur penerbitan izin lingkungan, jika pemrakarsa kegiatan tanggul pantai dan tanggul sungai fase A NCICD, yaitu BBWSCC, sudah memenuhi semua persyaratan, izin lingkungan bisa diterbitkan. Pembangunan tanggul pantai dan sungai fase A bisa dimulai.

Untuk amdal tanggul fase A NCICD, seperti berita Kompas (8/6), seharusnya Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) yang menjadi komite penilai atas amdal tersebut karena tanggul itu lintas provinsi, yaitu akan melewati DKI Jakarta, Banten, dan Jawa Barat. Namun, KLHK melimpahkan penilaian kepada DKI Jakarta.

Pembangunan tanggul pantai dan tanggul laut fase A NCICD sepanjang 90 km tidak seluruhnya dibangun oleh BBWSCC. ”Pembangunan dilakukan pemerintah pusat, Pemprov DKI Jakarta, BUMN, BUMD, dan swasta murni,” ujar Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) DKI Jakarta Tuty Kusumawati.

Pemprov DKI Jakarta membangun tanggul pantai dan sungai di tiga sub aliran sungai, yaitu sub aliran barat (Kamal Muara), sub aliran tengah (Kali Adem), dan sub aliran timur (Kali Blencong).

Untuk segmen tanggul yang akan dikerjakan Dinas Tata Air DKI Jakarta, Kepala Badan Pengadaan Barang dan Jasa DKI Blessmiyanda menjelaskan, untuk tanggul aliran tengah NCICD, usulan penetapan pemenang proyek tanggul diserahkan kepada Kepala Dinas Tata Air DKI. ”Nilai proyek tanggul aliran tengah itu lebih dari Rp 100 miliar, jadi pemenang mesti ditetapkan kepala dinas,” ujar Blessmiyanda.

Untuk aliran barat dan timur, saat ini masih dalam proses lelang karena ada perubahan harga perkiraan sendiri (HPS). ”Untuk perubahan HPS ini masih menunggu koordinasi dengan Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat,” ujarnya.

Akhir Juli ini

BBWSCC dan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta mulai melakukan pemancangan tanggul pantai dan tanggul sungai NCICD fase A pada akhir Juli 2016. Pembangunan segmen awal sepanjang 4,5 kilometer ditargetkan rampung pada tahun 2018.

”Mudah-mudahan bulan depan setelah Lebaran, kami sudah mulai melakukan pemancangan tanggul untuk daerah Muara Baru,” ujar Kepala BBWSCC Teuku Iskandar, saat ditemui di kantornya, Rabu (15/6).

Iskandar mengungkapkan, pemancangan tanggul fase A segmen awal sepanjang 4,5 km terdapat di Muara Baru, Jakarta Utara. Sepanjang 1,8 km di antaranya dipancang lebih dulu, kemudian dilanjutkan di kawasan Kalibaru Cilincing sepanjang 2,7 km. ”Untuk yang 4,5 km, kami harapkan selesai 2018. Setelah itu, pembangunan akan bergeser ke arah Kamal Muara,”€ ucap Iskandar.

Menurut Iskandar, tanggul fase A NCICD akan dibangun setinggi 4,8 meter dari ketinggian permukaan laut, dihitung dari titik 0,00 Pelabuhan Tanjung Priok. Hal ini didasarkan pertimbangan penurunan muka tanah (land subsidence) yang terjadi setiap tahun dan ketinggian pasang air laut di utara Jakarta.

Iskandar menjelaskan, tanggul NCICD berupa pipa beton berdiamater 1,2 meter akan dipancang di laut sedalam 20 meter. Pembangunan tanggul ini akan dibantu dengan ponton karena terletak menjorok ke laut atau berjarak 30-90 meter dari bibir pantai Jakarta saat ini.

Tanggul fase A NCICD ini, kata Iskandar, perlu dibangun untuk membentengi Jakarta dari bencana rob. Selain itu, area kering yang berada di balik tanggul nantinya akan dijadikan ruang publik dengan fasilitas jalur bersepeda, trek untuk joging, jalan inspeksi, dan taman.

(JAL/HLN/ILO/MDN)

Artikel terkait

Leave a Reply

Back to top button