Kliping

Perjelas soal Kerugian Negara

JAKARTA, KOMPAS — Badan Pemeriksa Keuangan dinilai perlu menjelaskan temuannya soal potensi kerugian negara Rp 191,3 miliar dalam pembelian lahan Rumah Sakit Sumber Waras.

Koordinator Divisi Investigasi Indonesia Corruption Watch Febri Hendri, Minggu (17/4), menyatakan, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) perlu menjelaskan temuan soal pelanggaran prosedur pengadaan lahan dan nilai jual obyek pajak (NJOP). Keduanya menjadi pangkal atas kesimpulan BPK bahwa ada potensi kerugian negara.

“Temuan soal pelanggaran prosedur tidak pernah diklarifikasi BPK, terutama terkait dengan tidak disinggungnya Pasal 121 Perpres (Peraturan Presiden) Nomor 40 Tahun 2014,” kata Febri.

Dalam laporan hasil pemeriksaan (LHP) BPK atas laporan keuangan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta tahun 2014, BPK menilai pembelian lahan RS Sumber Waras seluas 3,64 hektar tidak sesuai Undang-Undang No 2/2012 dan Perpres No 71/2012 tentang Penyelenggaraan Pengadaan Tanah yang mengatur perencanaan, pembentukan tim, penetapan lokasi, studi kelayakan, dan konsultasi publik.

Padahal, ada Pasal 121 Perpres No 40/2014 tentang perubahan keempat atas Perpres No 71/2012 yang menyatakan bahwa pengadaan tanah di bawah 5 hektar dapat dilakukan pembelian langsung antara instansi yang memerlukan dan pemilik tanah. Aturan ini tidak disinggung dalam LHP.

Terkait lahan RS Sumber Waras, kata Febri, lokasi tanah telah ditetapkan dalam Kebijakan Umum Anggaran-Prioritas Plafon Anggaran Sementara (KUA-PPAS) APBD Perubahan 2014. KUA-PPAS ini telah disetujui gubernur dan pimpinan DPRD DKI Jakarta.

Acuan penghitungan kerugian negara juga dinilai janggal. Sebab, BPK mengacu pada nilai kontrak pembelian antara Yayasan Kesehatan Sumber Waras (YKSW) dan PT Ciputra Karya Unggul tahun 2013. Dalam kontrak, PT Ciputra Karya Unggul membeli lahan senilai Rp 564,3 miliar, sementara Pemprov DKI membelinya Rp 755,6 miliar.

Dalam kontrak dinyatakan bahwa nilai jual tanah Rp 15,5 juta per meter persegi ketika NJOP Rp 12,1 juta per meter persegi tahun 2013. Padahal, pembelian Pemprov DKI dilakukan pada 2014 ketika NJOP telah dinaikkan menjadi Rp 20,7 juta per meter persegi.

Sebelumnya, Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama menyatakan, dirinya meyakini tidak ada pelanggaran prosedur dalam pembelian lahan itu. Pemprov DKI justru lebih untung karena membeli tanah berdasarkan NJOP dan bukan mengacu pada harga pasar yang lebih tinggi dari NJOP.

Menurut Direktur Umum RS Sumber Waras Abraham Tedjanegara, harga NJOP 2014 dinilai masih lebih murah daripada harga taksiran pasar. Selain itu, nilai bangunan yang sekitar Rp 25 miliar juga ditiadakan sehingga transaksi ini dinilai justru menguntungkan negara.

Akhir tahun

Pekan lalu, BPK bersikukuh pada temuannya bahwa ada kerugian negara Rp 191,3 miliar. Ketua BPK Harry Azhar Azis menyatakan, temuan itu sudah dilaporkan kepada Presiden Joko Widodo.

Kepala Biro Humas dan Kerja Sama Internasional BPK Yudi Ramdan Budiman menyatakan, ada transaksi tak lazim pada akhir tahun 2014. Hasil pemeriksaan, ada transaksi tunai dari Bank DKI senilai Rp 755,69 miliar melalui jenis belanja uang persediaan (UP) atau langsung.

“Transaksi UP biasanya kecil, tetapi ini nilainya terbilang besar. Lalu, melalui transaksi langsung, bukan giro, dan dilakukan pukul 19.00 yang sudah lewat dari jam kerja. Auditor di seluruh dunia pasti mengkritik, ini ada apa, transaksi apa? Tetapi bisa salah, bisa benar. Kalau ada buktinya, tidak masalah,” tutur Yudi.

Dalam buku tiga LHP BPK atas Laporan Keuangan Pemerintah Provinsi DKI 2014 disebutkan, bendahara Dinas Kesehatan DKI membayar tanah Rp 755,6 miliar melalui cek nomor CK 493387 pada 30 Desember 2014, lalu dicairkan oleh YKSW pada 31 Desember 2014. Pembayaran terdokumentasi dalam surat permintaan pembayaran uang persediaan.

Lahan yang dibeli Pemerintah Provinsi DKI berdiri di atas tanah sertifikat hak guna bangunan milik YKSW. Luas total lahan yang dikuasai YKSW 6,87 hektar, terdiri atas dua sertifikat, yakni 3,64 hektar atas nama YKSW dan 3,23 hektar atas nama Perkumpulan SMH. Keduanya memiliki nomor obyek pajak yang sama.

Menurut Febri, sebenarnya tidak masalah sepanjang transaksi tidak melebihi pukul 23.59 tanggal 31 Desember 2014. “Jika ada pelanggaran prosedur pada pengadaan lahan dengan maksud memperkaya diri sendiri atau orang lain sehingga mengakibatkan kerugian negara, atau ada penggelembungan NJOP tahun 2014, hal itu sudah bisa dinilai sebagai tindak pidana korupsi. Namun, kalau tidak ada, sebaiknya jangan dipaksakan sebagai tindak pidana korupsi,” paparnya. (MKN)

content

content

Artikel terkait

Leave a Reply

Cek juga
Close
Back to top button