Menata Orang
Sabtu pagi yang terasa sederhana sekaligus mewah menjelang akhir Februari di Pantai Sanur, Bali. Pantai yang ditata bersih, terbuka, dan gratis bagi semua orang. Jasa angkutan kapal menuju Nusa Penida ataupun Nusa Lembongan laris manis, kios cendera mata milik warga dikerubuti pengunjung. home stay, losmen, hingga hotel berbintang berdampingan.
Inilah pantai publik itu, salah satu pusat wisata di Bali yang memikat turis lokal dan mancanegara dari seantero dunia.
Berada di pantai ini penat terlepaskan pasca diskusi pada hari sebelumnya. Diskusi di salah satu ruang di hotel berbintang di pinggir Sanur itu serius membicarakan pengembangan wisata bahari di Kepulauan Seribu, Jakarta. Hal ini dilakukan untuk mencapai target kunjungan wisatawan, baik asing maupun lokal, di Indonesia hingga 20 juta orang pada 2019. Kepulauan Seribu digadang-gadang menjadi satu dari 10 destinasi wisata pantai dan laut di Nusantara, berdampingan dengan Wakatobi di Sulawesi Utara dan Raja Ampat di Papua.
Diskusi lintas kementerian dan diikuti perwakilan universitas itu, meskipun tidak eksplisit, menyarankan agar persiapan awal pembenahan Kepulauan Seribu selesai tahun ini. Diikuti pembenahan fisik dan program pemberdayaan masyarakat pada 2-3 tahun berikutnya.
Menurut rencana, Kepulauan Seribu dikelola satu paket dengan kawasan cagar budaya Kota Tua yang meliputi Museum Fatahillah dan sekitarnya, Sunda Kelapa, Museum Bahari, Masjid Luar Batang, dan Pulau Onrus yang ada di dalam gugusan Kepulauan Seribu.
Sabtu pagi itu, seharusnya peserta diskusi mengikuti field trip untuk belajar bagaimana memberdayakan masyarakat dalam mengelola dan mengembangkan industri wisata di daerahnya. Namun, field trip gagal karena satu-dua alasan. Akhirnya, hanya terngiang pesan dari Didien Junaedy yang aktif mengembangkan wisata di Kepulauan Seribu. Di ruang diskusi, ia mengingatkan agar masyarakat setempat harus menjadi target dan aktor dalam pembangunan menuju pusat wisata bahari. Tanpa keterlibatan aktif masyarakat, industri pariwisata tidak akan mampu bertahan, apalagi tumbuh kuat dan berkembang.
Entah berhubungan atau tidak, tetapi di Jakarta, penertiban dengan alasan pembenahan tata kota terus digenjot beberapa bulan terakhir. Secara beruntun permukiman padat kawasan Kalijodo yang berada di perbatasan Jakarta Utara-Jakarta Barat diratakan dan kini perlahan jadi ruang terbuka hijau amat luas. Dilanjutkan dengan permukiman kolong Tol Sedyatmo, tak jauh dari Kalijodo, juga dibongkar. Terakhir kawasan Pasar Ikan dan, diperkirakan, segera menyusul daerah Luar Batang yang bertetangga di Kecamatan Penjaringan, Jakarta Utara.
Proses ketiga penertiban itu berlangsung kilat. Di Pasar Ikan, pembongkaran dilaksanakan dua minggu setelah surat peringatan pertama dilayangkan. Tak ada penjelasan tegas mengapa harus sedemikian cepat. Pasar Ikan dan Luar Batang akan berseberangan dengan Pulau I, satu dari 17 pulau reklamasi.
Terlalu dini dan mungkin agak dipaksakan untuk menghubungkan penataan sejumlah daerah itu dengan upaya mempercepat terwujudnya kawasan wisata Kota Tua-Kepulauan Seribu. Namun, dengan penataan terburu-buru itu apakah bisa menjamin pembangunan menempatkan warga setempat sebagai aktor penggeraknya? Bisakah nanti suasana seperti di Pantai Sanur dirasakan di kawasan wisata Pasar Ikan dan Luar Batang, pasca penertiban? Waktu yang akan menjawabnya.