Nasib Perda Kian Buram, Sejumlah Anggota DPRD DKI Menarik Diri
JAKARTA, KOMPAS — Kelanjutan pembahasan peraturan daerah tentang reklamasi kian buram pasca operasi tangkap tangan Komisi Pemberantasan Korupsi, pekan lalu. Selain buntu pada pasal tambahan kontribusi, sejumlah anggota DPRD DKI Jakarta menarik diri dari pembahasan.
Dua peraturan daerah (perda) terkait reklamasi Teluk Jakarta tengah berproses di Badan Legislasi (Baleg) DPRD DKI Jakarta, yakni Perda Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil (RZWP3K) dan Rencana Tata Ruang Kawasan Strategis (RTRKS) Pantura Jakarta. Sampai rapat terakhir pada 31 Maret 2016, Balegda dan Pemerintah Provinsi DKI buntu pada pasal tentang tambahan kontribusi bagi pengembang pulau.
Sidang paripurna penetapan perda setidaknya dua kali gagal. Terakhir, Senin (4/4), Fraksi PDI-P yang memiliki 28 kursi dari total 106 kursi DPRD DKI Jakarta menarik diri dari pembahasan. Sebelumnya, sejumlah anggota menyatakan tidak sepakat dengan kebijakan reklamasi.
Sekretaris DPD PDI Perjuangan DKI Jakarta Prasetio Edi Marsudi menyatakan, penghentian itu sebagai respons atas penangkapan KPK terhadap Ketua Komisi D Mohamad Sanusi serta dua orang dari PT Agung Podomoro Land (APL), Kamis pekan lalu. Ketiganya ditangkap terkait dengan perda tersebut.
Pembahasan perda yang dimulai sejak November 2015 itu sebenarnya telah memasuki tahap akhir. Menurut Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) DKI Jakarta Tuty Kusumawati, khusus Perda RZWP3K sudah tak ada masalah, sementara Perda RTRKS Pantura Jakarta masih buntu pada pasal tambahan kontribusi.
“Sudah 16 kali rapat dengan Baleg dan dua kali gagal paripurna. Kami masih menunggu undangan Baleg untuk menyelesaikan pembahasan. Kami berharap bisa lanjut,” kata Tuty.
Pasal tambahan kontribusi diduga menjadi celah permainan. Pada draf awal, Pemprov DKI mengusulkan tambahan kontribusi 15 persen dari nilai jual obyek pajak dari total luas lahan yang bisa dijual pengembang. Baleg tak sepakat dan memintanya diatur dalam pasal penjelasan. Namun, Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama tak setuju dengan usulan itu.
Basuki bersikukuh memasukkan formula tambahan kontribusi, selain kewajiban pengembang menyerahkan sarana prasarana umum, ruang terbuka hijau dan biru, mengeruk endapan sungai, dan menyerahkan 5 persen lahan ke Pemprov DKI, sebagai bentuk subsidi silang. Sebab, tambahan kontribusi dialokasikan untuk menata kembali kawasan pesisir utara serta daratan Jakarta secara umum, antara lain dalam bentuk pembangunan rumah susun, infrastruktur jalan, serta pengairan.
“Saya ingin tambahan kontribusi (15 persen) disebut jelas di dalam perda. Jika tidak disebut, ya, bisa-bisa pengembang nakal, nanti ngeles,” kata Basuki.
Basuki tidak ingin berdebat soal dasar hukum. Dia meminta siapa saja yang tidak setuju untuk membawanya ke pengadilan. Tidak berdebat di media sehingga membingungkan publik.
Reklamasi utara Jakarta telah berlangsung sejak tahun 1979. Berdasarkan dataKompas, pro dan kontra selalu ada. Tak hanya di kalangan akademisi, perbedaan pendapat soal perlu tidaknya reklamasi muncul di antara lembaga pemerintah. Gugatan terkait produk hukum dasar pelaksanaan reklamasi telah berulang sampai ke Pengadilan Tata Usaha Negara dan Mahkamah Agung.
Bayar utang
Basuki juga mengatakan, secara teknis, reklamasi di pantai utara Jakarta tetap berjalan sejauh ada perizinan yang sudah dikeluarkan. Menurut dia, PT APL, pengembang yang saat ini terlibat kasus suap dengan anggota DPRD DKI, sudah menyicil kewajiban pembangunan fasilitas umum dan fasilitas sosial. Sekarang, pengembang itu juga masih bertanggung jawab menyelesaikan pembangunan rumah susun dengan persentase 20 persen dari lahan yang terbangun di DKI. Beberapa rusun yang dibangun oleh pengembang adalah Rusun Muara Baru, Daan Mogot, dan Pulogebang. “Mereka harus bayar utang pembangunan rusun itu,” ujar Basuki.
Sesuai aturan, pengembang diwajibkan menyediakan fasilitas sosial dan fasilitas umum senilai 20 persen dari properti yang dibangun. Kewajiban itu tertuang dalam surat izin penunjukan penggunaan tanah. Penagihan tanggung jawab pengembang didasarkan pada Surat Keputusan Gubernur DKI Jakarta Nomor 540 Tahun 1990 tentang Petunjuk Pelaksanaan Pemberian Surat Persetujuan Prinsip Pembebasan Lokasi/Lahan atas Bidang Tanah untuk Pembangunan Fisik Kota Jakarta. Sesuai ketentuan itu, pengembang yang menguasai lahan lebih dari 5.000 meter persegi wajib membangun rusun senilai 20 persen dari lahan yang dikuasai. Penagihan secara khusus dilakukan Biro Tata Ruang dan Lingkungan Hidup Provinsi DKI Jakarta.
Tidak bermanfaat
Sejumlah warga dari Forum Kerukunan Warga Muara Angke bukan hanya menolak keras aturan terkait reklamasi, melainkan proyek reklamasi itu sendiri yang kini tengah berlangsung. Reklamasi tidak bermanfaat bagi warga dan nelayan, malah memperburuk nasib nelayan.
Meski demikian, proses reklamasi tetap berlangsung. Di Pulau G, misalnya, yang berada di depan Pelabuhan Muara Angke, Senin siang, ada sejumlah kapal dan alat berat, seperti crane, bekerja.
“Beberapa hari yang lalu malah ada kapal yang kandas di sekitar pulau itu. Jadi, kami semakin susah dan harus berhati-hati kalau jalankan perahu,” kata Hardi (38), nelayan bubu di Muara Angke. (MKN/DEA/JAL)