Buntu pada Pasal Kontribusi
Formula Perda Reklamasi Teluk Jakarta Versi DKI-DPRD Beda Jauh
JAKARTA, KOMPAS — Pembahasan rancangan peraturan daerah tentang reklamasi Teluk Jakarta buntu pada pasal mengenai tambahan kontribusi pengembang. Pemerintah Provinsi dan Badan Legislasi DPRD DKI Jakarta mengajukan formula penghitungan yang jauh berbeda.
Dalam draf rancangan Peraturan Daerah (Perda) tentang Rencana Tata Ruang Kawasan Strategis Pantura Jakarta, pada Pasal 116, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta mengusulkan formula penghitungan tambahan kontribusi sebesar 15 persen nilai jual obyek pajak (NJOP) dari total lahan yang dapat dijual atausaleable area. Dengan mengacu pada pasal-pasal lain, lahan yang bisa dijual pengembang dapat mencapai 58 persen dari total luas pulau.
Formula itu jauh dari usulan yang disampaikan Badan Legislasi (Baleg) DPRD DKI Jakarta, yakni 5 persen NJOP dari kontribusi lahan atau 5 persen dari luas pulau. Dengan dua formula berbeda, selisih nilai tambahan kontribusi yang harus ditunaikan pengembang berbanding 1:34,8. Artinya, jika mengacu pada formula yang diusulkan Baleg, pengembang pulau reklamasi hanya perlu membayar kontribusi Rp 1, sementara dengan formula Pemprov DKI Jakarta senilai Rp 34,8.
Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Daerah DKI Jakarta Tuty Kusumawati, pekan lalu, menyatakan, sampai 11 Maret 2016, ada 13 pasal yang sebelumnya menjadi perdebatan akhirnya disepakati bersama, termasuk pengelolaan sampah pulau. Namun, Pemprov dan Baleg belum bersepakat soal formula tambahan kontribusi.
Kamis malam pekan lalu, Komisi Pemberantasan Korupsi menangkap tangan Ketua Komisi D DPRD DKI Jakarta Mohamad Sanusi serta karyawan PT Agung Podomoro Land Tbk (APL), Trinanda Prihantoro, di Jakarta Selatan. Sehari kemudian, Presiden Direktur PT APL Ariesman Widjaja menyerahkan diri pada Jumat malam. Ketiganya ditahan terkait dugaan penyuapan pada pembahasan Perda Rencana Tata Ruang Kawasan Strategis Pantura Jakarta serta Perda Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil.
PT Muara Wisesa Samudera, anak usaha PT APL, adalah pengembang Pulau G seluas 161 hektar, satu dari 17 pulau reklamasi yang direncanakan dibangun di Teluk Jakarta.
Pengembang lain yang sudah mengantongi izin dan memulai reklamasi adalah PT Kapuk Naga Indah, anak usaha Agung Sedayu, pengembang Pulau A, B, C, D, dan E, dengan luas total 1.331 hektar. Pulau D dan E saat ini telah terbentuk.
Corporate Secretary APL Justini Omas, Minggu (3/4), menyampaikan, pembangunan Pulau G masih berjalan.
“Saat ini, fisik pulau yang sudah muncul dari permukaan laut sudah 15 persen. Pembangunannya tidak dihentikan karena izin pelaksanaan telah kami peroleh,” ujar Justini melalui pesan elektronik.
Jual-beli
Dugaan penyuapan terkait rancangan perda reklamasi di Teluk Jakarta semakin mengukuhkan proyek ini hanya berperspektif ekonomi. Aspek lingkungan dan sosial tidak menjadi arus utama, bahkan cenderung diabaikan.
Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Indonesia Jakarta Puput TD Putra menilai, salah satu hal yang ditakutkan terkait proyek reklamasi ini telah terjadi, yaitu ajang mencari rupiah. Pasal-pasal dalam aturan reklamasi “diperjualbelikan” seiring dengan banyaknya celah dalam aturan. Parahnya, lingkungan hingga masyarakat pesisir pada khususnya dikorbankan untuk memuluskan proyek ini.
“Dari dulu kami memperingatkan bahwa proyek ini hanya akan menjadi bencana, baik ekologi maupun ekonomi, yang berujung pada korupsi. Karena kajian lingkungan tidak pernah dibuka, bahkan analisis mengenai dampak lingkungan pun banyak kecacatan,” ucapnya.
Menurut Puput, jika dilihat sejak penataan kawasan dikeluarkan, proyek ini tidak transparan. Informasi terkait izin-izin yang keluar sangat tertutup, termasuk dalam penyusunan Raperda Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil dan Rencana Tata Ruang Kawasan Pantura Jakarta. “Ruang publik seperti dikuasai segelintir orang. Aturan-aturan yang ada tidak digubris, dan publik, termasuk nelayan kecil dan warga pesisir, sudah merasakan dampaknya,” lanjutnya.
Martin Hadiwinata, Ketua Bidang Hukum dan Pembelaan Nelayan Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia, mengatakan, reklamasi di Teluk Jakarta paling murah secara hitungan ekonomi. Ia mengatakan, dari modal sekitar Rp 3 juta per meter persegi, bisa dijual hingga Rp 40 juta per meter persegi.
“Lokasinya sangat strategis, di pantai utara Jakarta. Makanya, laut diuruk dan nelayan disingkirkan,” ujarnya. (JAL/MKN)