Campur Tangan Pemerintah Diinginkan
Bagi warga Ibu Kota, kehadiran ruang publik terasa menyejukkan. Ruang publik bisa diterjemahkan sebagai ruang yang bisa dimanfaatkan warga bersama-sama, misalnya jalan, jalur pejalan kaki, dan taman. Di perkotaan, ruang publik difungsikan sebagai pusat aktivitas sosial masyarakat. Selain itu, ruang publik yang terawat dan rapi bisa memperindah lingkungan serta meningkatkan estetika kawasan.
Bagi pemerintah kota, penyediaan ruang publik menjadi tantangan tersendiri di tengah makin sesaknya lahan perkotaan. Untungnya, ruang publik tak harus taman yang berukuran luas. Menurut Undang-Undang Penataan Ruang tahun 2007, ruang publik bisa berwujud ruang terbuka hijau (RTH) atau bisa seperti waduk atau danau, sungai, trotoar, tempat bermain, dan lapangan olahraga. Hal terpenting dari sebuah ruang publik adalah bebas biaya, dapat digunakan semua warga, serta mudah diakses warga dari segala lapisan.
Sejauh ini, Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta terus berupaya menambah ruang publik. Luasan RTH sebagai bagian dari ruang publik kini baru sekitar 10 persen dari luas wilayah Jakarta.
Dinas Pertamanan dan Pemakaman DKI Jakarta setiap tahun berusaha menambah jumlah taman. Kawasan sekitar Waduk Pluit, Jakarta Utara, dan Ria Rio, Jakarta Timur, telah disulap menjadi wadah aktivitas warga sekitar. Tahun ini, akan dibangun 63 taman baru dengan luas total 49,33 hektar. Bagi penghuni kawasan padat penduduk, Pemprov DKI membuat ruang publik terpadu ramah anak (RPTRA) yang sekarang ada 13 unit. DKI berencana menambah 150 RPTRA baru menggunakan anggaran daerah.
Upaya pemerintah ini rupanya dinilai positif oleh publik Jakarta. Tujuh dari 10 warga dalam jajak pendapat ini mengaku secara signifikan merasakan penambahan ruang publik di sekitar lingkungan rumah mereka.
Andil pemerintah
Ruang publik yang ideal adalah yang tetap memperhatikan peran masyarakat dalam pengelolaannya. Ini berarti ruang publik akan lebih terasa dampak positifnya bagi masyarakat sekitar tatkala publik sendiri yang menjaga dan mengelola.
Sayangnya, warga Ibu Kota lebih percaya jika ruang publik tetap diurus pemerintah ataupun pengelola lainnya. Sebanyak 71 persen peserta jajak pendapat menilai pemanfaatan ruang publik lebih baik jika tetap ada partisipasi pemerintah daerah ataupun pengelola lainnya dalam pengoperasiannya.
Alasan utama di balik penilaian ini adalah kekhawatiran warga tak bisa konsisten merawat dan memanfaatkan dengan baik fasilitas yang disediakan pemprov. Sejauh ini memang sudah terjadi bahwa sejumlah RPTRA dicoret-coret, rumput taman rusak, pasir tempat bermain anak dikeruk, sampah berserakan, dan dijadikan tempat cuci mobil (Kompas, 17/2). Dikhawatirkan, lama-lama pedagang kaki lima akan berdatangan dan menempati ruang yang sebenarnya tak disediakan untuk mereka.
Belum maksimal
Di luar masalah kurang bertanggungjawabnya warga, ruang publik ternyata belum dimanfaatkan optimal. Hanya satu dari tiga responden yang rutin mengunjungi fasilitas umum minimal seminggu sekali untuk berolahraga ataupun sekadar melepas penat sejenak. Sebanyak 34 persen lainnya hanya datang sekali sebulan.
Ada juga warga yang sama sekali tak pernah mendatangi dan memanfaatkan ruang publik yang tersedia. Kehadiran PKL dan keterbatasan fasilitas menjadi sebagian alasan di balik keengganan warga yang tak ingin mengunjungi ruang publik.
(MB DEWI PANCAWATI/LITBANG KOMPAS)