Smartcity Juga Perlu Kecerdasan Pelapornya
Sejak sistem smartcity diluncurkan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, Desember 2014, setiap hari ada ribuan laporan terkait masalah perkotaan masuk ke gudang data. Sistem smartcity menuntut pegawai negeri sipil dari tingkat kelurahan, kecamatan, kota, hingga provinsi berlomba-lomba menyelesaikan persoalan yang diadukan warga.
Melalui aplikasi Qlue, warga dapat melaporkan berbagai temuan kepada petugas Pemprov DKI Jakarta. Aplikasi itu terkoneksi dengan perangkat global positioning system (GPS). Untuk keperluan distribusi tugas dan pengawasan, pegawai negeri sipil menerima laporan melalui aplikasi CROP (Cepat Respons Opini Publik).
Lurah Pulo, Gita Puspita Sari, misalnya, setiap hari menerima 3-5 laporan warga. Laporan umumnya memuat foto situasi, nama pelapor, deskripsi, dan status penyelesaian masalah. Isi laporan beragam, mulai dari jalan rusak, tumpukan sampah, parkir liar, kebakaran, hingga lampu jalan raya padam.
Dituntut sesegera mungkin menyelesaikan persoalan, Gita membagi petugas kelurahan menjadi dua tim. Salah satu tim bertugas menjalankan agenda harian dan mingguan yang sudah disusun dalam rapat rutin. “Satu tim lain bertugas merespons laporan warga yang sifatnya mendadak dan mendesak,” kata Gita, Rabu (24/2).
Setelah menindaklanjuti laporan, Gita akan menandai laporan dengan warna kuning (sedang dalam penanganan petugas) dan warna hijau (selesai penanganan). Laporan yang belum ditindaklanjuti akan berwarna merah.
Dari laporan-laporan yang masuk, tidak semuanya bisa ditindaklanjuti dalam satu hari kerja. Pembangunan trotoar atau perbaikan jalan rusak, misalnya, memerlukan waktu yang lebih lama untuk pengerjaannya. Kadang-kadang petugas kelurahan juga perlu waktu untuk berkoordinasi dengan instansi terkait.
Dengan adanya sistem smartcity, PNS dituntut bekerja lebih cepat. Di satu sisi, hal ini meningkatkan kinerja pejabat publik. Namun, di sisi lain, kurangnya interaksi antarwarga membuat banyak persoalan yang sebenarnya bisa diselesaikan dengan musyawarah di tingkat RT/RW sekarang dibebankan kepada pejabat publik. “Pernah suatu malam ada warga yang melapor, di sekitar rumahnya banyak asap karena tetangganya membakar sesuatu. Laporan seperti ini sebenarnya bisa diselesaikan dengan musyawarah antarwarga,” ujar Gita.
Relokasi pedagang
Akhir Februari, puluhan pedagang kaki lima yang biasa berjualan di Jalan Haji Saiun, Kecamatan Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, dikumpulkan di Kantor Kelurahan Pulo. Pertemuan itu diadakan untuk merealisasikan rencana relokasi pedagang. Relokasi dilakukan setelah Pemprov DKI Jakarta menerima pengaduan masyarakat yang merasa keberatan dengan keberadaan PKL di dekat rumah mereka. Laporan disampaikan melalui Qlue.
Sebagian Jalan Haji Saiun dulunya adalah lokasi binaan PKL JS-35. Di lokasi itu, lebih dari 100 pedagang menempati lapak-lapak kaki lima yang terbuat dari kayu dan bambu. Pada tahun 2014, Pemerintah Kota Jakarta Selatan tidak memperpanjang penerbitan izin JS-35. Petugas lalu mempersiapkan proses relokasi pedagang ke Pasar Mede dan Cipete Utara. Dengan adanya laporan warga, proses relokasi dipercepat.
Sutrisno (64), salah seorang pedagang, mengatakan sudah berpuluh-puluh tahun berjualan bahan-bahan pokok di Jalan Haji Saiun. “Ini tidak adil. Hanya karena laporan satu warga, puluhan pedagang harus menerima dampaknya,” ujarnya.
Sukarti (65), pedagang ikan asin, mengatakan bersedia dipindahkan asal Pemprov DKI Jakarta juga menertibkan bangunan liar yang ada di dekat kiosnya. “Warga yang melaporkan PKL sudah memakai sebagian badan jalan untuk tembok rumahnya. Harusnya tembok itu dirobohkan lebih dahulu,” kata perempuan asal Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta, itu.
Menurut Gita, laporan warga yang keberatan dengan adanya PKL merupakan salah satu pemantik untuk menertibkan keberadaan PKL.
Dengan adanya sistem smartcity, segala persoalan memang lebih cepat terselesaikan. Namun, kemajuan teknologi juga memerlukan kebijaksanaan pemakainya.
(DENTY PIAWAI NASTITIE)