Ruang Hijau Kurang, Picu Masalah Kota
Penataan Kalijodo Belum Jadi Prioritas Pemprov DKI Jakarta
JAKARTA, KOMPAS — Luas ruang terbuka hijau di Jakarta memang cenderung naik 15 tahun terakhir. Namun, luasnya jauh lebih rendah dari ketentuan undang-undang tentang penataan ruang sebesar 30 persen. Minimnya ruang terbuka hijau menuai problem sosial, mental, dan fisik warga.
Pegiat ruang terbuka hijau (RTH) dan arsitek lanskap, Nirwono Joga, Rabu (10/2), menyebutkan, luas RTH di DKI Jakarta tahun 1965 masih 37,2 persen, lalu turun menjadi 25,8 persen tahun 1985, dan 9 persen tahun 2000. Sejak itu, jumlahnya bertambah, tetapi relatif kecil, yakni 9,8 persen tahun 2010 dan 9,98 persen tahun 2015.
Menurut Nirwono, penambahan luas RTH dapat dipercepat, antara lain dengan menghijaukan bantaran sungai, rel, area SUTET, dan kolong tol. Penghijauan 44 waduk dan 14 situ di Jakarta serta kawasan rawan kebakaran turut mempercepat penambahan RTH.
Pengajar Program Doktoral Kependudukan dan Lingkungan Hidup Universitas Negeri Jakarta, Deddy Kurniawan Halim, menambahkan, kekurangan RTH bisa berdampak pada timbulnya masalah sosial, mental, dan fisik warga. Warga bisa menjadi individualis karena kurang tempat bertemu, tertekan karena tidak ada ruang penyembuhan mental, serta sakit secara fisik.
Ruang publik memang tidak melulu RTH. Wujudnya bisa ruang tertutup, seperti mal yang dikuasai swasta dan tidak gratis. Padahal, kata Deddy, hakikat ruang publik adalah gratis dan terbuka bagi semua warga.
Tahun ini, Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta menyasar lahan-lahan baru untuk membangun taman kota, tempat pemakaman umum, dan jalur hijau. Akan tetapi, selalu ada kendala, seperti pembebasan lahan.
Meski sejumlah taman dan ruang publik sudah dibangun, pelibatan masyarakat untuk menghidupkan dan merawat taman masih kurang. Di Taman Tabebuya, Jalan Muhammad Kafi 1, Jagakarsa, Jakarta Selatan, hampir tidak ada kegiatan yang melibatkan warga setempat.
“Taman ini terletak berjauhan dengan permukiman warga. Di sini tidak pernah ada kegiatan yang melibatkan warga,” kata Ahmad (27), petugas keamanan taman dari Dinas Pertamanan dan Pemakaman Umum Pemprov DKI Jakarta.
Menurut Ahmad, kebanyakan pengunjung Taman Tabebuya berasal dari Jakarta, Depok, dan Bogor. Kedekatan taman itu dengan warga yang tinggal di dekatnya justru kurang. Minimnya kegiatan untuk mengajak warga menghidupkan dan merawat taman membuat petugas keamanan harus bekerja ekstra keras menegur pengunjung yang jahil merusak fasilitas taman. Kondisi serupa terjadi di Taman Jagakarsa tak jauh dari Tabebuya.
Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama berkomitmen menyediakan lebih banyak taman dan RTH di Jakarta. Menurut Basuki, ketersediaan taman membuat warga lebih mudah berinteraksi dan saling mengenal sehingga tercipta budaya gotong royong di antara masyarakat.
Basuki memerintahkan Dinas Pertamanan dan Pemakaman Umum DKI Jakarta merekrut warga sebagai petugas keamanan dan kebersihan taman. “Mereka (warga) tahu kondisi taman seperti apa. Keinginan menjaga taman jadi muncul,” katanya.
Selain itu, menurut Basuki, taman juga akan dilengkapi toilet dengan pendingin udara dan kamera pemantau (CCTV).
Ukur kekuatan
Kapolda Metro Jaya Inspektur Jenderal Tito Karnavian akan mendukung langkah Pemprov DKI yang berniat menata Kalijodo, pusat lokalisasi dan hiburan malam bagi kalangan kelas menengah ke bawah, yang berada di perbatasan antara Tambora, Jakarta Barat; dan Penjaringan, Jakarta Utara. Akan tetapi, Gubernur Basuki justru mengatakan penertiban Kalijodo perlu, tetapi belum menjadi prioritas.
“Kami sedang mengukur kekuatan dulu. Kami pikir belum siap karena harus konsentrasi untuk membereskan Waduk Pluit. Kalau Waduk Pluit sudah selesai, akan kami bereskan itu (Kalijodo). Lagi pula (kawasan) itu enggak terlalu kena sungai. Yang diutamakan (untuk dibongkar) yang kena sungai dan waduk,” ujarnya.
Kawasan Kalijodo diapit Kanal Barat dan Kali Item. Menurut Camat Tambora Djaharuddin, kawasan tersebut masuk dalam zona jalur hijau. Di kawasan ini ada rumah permanen warga yang terletak 2 meter-2,5 meter dari jalan inspeksi Kanal Barat. Rumah bercat berwarna-warni itu sebagian besar dipasangi neon box bertuliskan merek minuman beralkohol. Kondisi lingkungan di pinggir jalan terlihat bersih dan rapi. Namun, jika masuk ke dalam permukiman, kondisinya gelap dan lembab karena padat penduduk. Kawasan itu ramai pada sekitar pukul 20.00 hingga dini hari.
Maryamah, Ketua RT 007 RW 010 Kelurahan Angke, Tambora, mengatakan, sebagian besar kafe dan tempat hiburan masuk ke wilayah Penjaringan. Hanya ada satu kafe besar yang berada di wilayah Angke. Selain kafe, di tempat itu juga tumbuh subur usaha kontrakan. Kontrakan seharga Rp 300.000-Rp 500.000 disewa oleh tukang parkir, petugas keamanan, dan perempuan yang bekerja di tempat hiburan. Di RT 007 sendiri terdata ada 100 kepala keluarga yang tinggal. Itu di luar para pendatang yang masuk-keluar kawasan itu.
“Rencana pembongkaran bangunan di sini sudah saya dengar sejak zaman Gubernur Sutiyoso. Kami berharap, sih, enggak usah digusur. Kalau tempat hiburan mau ditertibkan, itu terserah pemerintah,” kata Maryamah.
(IRE/WIN/FRO/DNA/MKN/DEA)