Kliping

Menciptakan Jakarta yang Lebih Ramah Sungai

Dalam penanganan banjir di Jakarta, aspek sosial budaya masyarakat yang tinggal di sepanjang sungai, mulai dari hulu sampai hilir, kurang menjadi perhatian pemerintah. Pemerintah lebih fokus dan menggenjot percepatan normalisasi sungai, waduk, dan saluran air. Padahal, peran dari 10 juta warga yang tinggal di Jakarta mutlak diperlukan.

Berdasarkan catatan sejarah, peristiwa banjir terus berulang di Ibu Kota. Sejak abad V, Jakarta yang berada di bawah kekuasaan Kerajaan Tarumanagara sudah dilanda banjir. Oleh sebab itu, Raja Purnawarman membendung Sungai Candrabaga serta menggali dua sungai di Bekasi dan Tangerang.

Banjir yang terjadi di Jakarta disebabkan oleh kondisi sungai yang tidak bisa mengalirkan air sesuai tarikan gravitasi. Hal itu salah satunya disebabkan oleh kondisi geografis Jakarta dan kondisi sungai yang dipenuhi sampah dan sedimentasi. Keadaan itu diperparah dengan pembangunan kota yang tanpa kendali. Ruang terbuka hijau yang seharusnya menyerap air kini dipadati bangunan beton. Apalagi, secara geografis, 40 persen wilayah Jakarta berketinggian 1 meter-1,5 meter di bawah muka laut pasang.

Sejarawan Restu Gunawan dalam bukunya yang berjudul Gagalnya Sistem Kanal mengungkapkan, kota ini sudah akrab dengan banjir sejak dulu. Pada 1 Januari 1892, curah hujan yang turun di Batavia mencapai 286 milimeter. Hujan turun sangat lebat selama lebih dari delapan jam. Akibatnya, sejumlah wilayah, baik di kawasan Weltevreden (sekitar Lapangan Banteng) maupun pinggiran yang dilewati Sungai Ciliwung, tergenang. Kemudian pada 1893, kawasan yang tergenang air meluas dan melumpuhkan aktivitas perekonomian. Di wilayah pesisir, seperti di Marunda, Jakarta Utara, rob menghantam dan mengganggu aktivitas nelayan dalam menangkap ikan.

“Sebenarnya Jakarta dari dulu memang kota banjir dan kita tidak perlu takut. Kita semestinya perlu mengadaptasi saja tentang banjir ini. Karena tidak ada cerita di dalam sejarah itu Jakarta bisa bebas banjir,” tutur Restu dalam diskusi bertajuk “Jakarta Kota Sungai” yang digelar Kompas, pekan lalu.

Setelah tahun 1892, banjir berturut-turut terjadi pada 1895, 1899, 1904, 1909. Pasca 1892, banjir terparah kembali terjadi pada 1977. Banjir merendam sebagian Jakarta dengan ketinggian rata-rata 70 sentimeter. Di sebagian kawasan, seperti Karet, Guntur, dan Taman Mini, ketinggian air mencapai 3 meter. Air bahkan merendam kawasan Monas menjadi kolam raksasa.

Membangun ikatan

Melihat fakta tersebut, Restu berpendapat, orang yang tinggal di Jakarta harusnya bisa memahami keadaan dan sadar dengan kondisi lingkungannya. Namun, perubahan penataan ruang di Jakarta justru semakin menjauhkan kesadaran warga tentang lingkungannya. Infrastruktur didesain menutupi sungai sehingga 13 kali yang mengaliri kota ini seolah tersembunyi dari kehidupan sehari-hari warga.

Di sepanjang bantaran Ciliwung dan Krukut, misalnya, ratusan rumah dibangun membelakangi aliran sungai. Sebagian besar warga yang tinggal di bantaran hampir tak pernah memperhatikan kebersihan dan kejernihan sungai. Setiap hari, warga membuang limbah dan sampah rumah tangga ke dalam sungai.

Ian (50), warga Kelurahan Bukit Duri, Kecamatan Tebet, misalnya, hampir setiap hari membuang sampah ke sungai. “Mau bagaimana lagi, orang lain juga sama,” katanya.

Menurut Ian, dulu di daerahnya warga pernah swadaya mengumpulkan uang untuk membeli tempat sampah. Setiap hari, sampah warga ditumpuk di tempat pembuangan. Namun, karena tidak ada petugas kebersihan yang mengangkut ke tempat pembuangan akhir, sampah akhirnya dibiarkan menumpuk. Kebiasaan membuang sampah di sungai pun terulang.

Pengendalian Banjir Jakarta dari Masa ke Masa
Pengendalian Banjir Jakarta dari Masa ke Masa

Di lain pihak, inisiatif warga mengenyahkan sampah secara ramah lingkungan kurang mendapat dukungan pemerintah. Puluhan anggota Kelompok Tani Lingkungan Hidup Sangga Buana, di perbatasan Jakarta Selatan dan Cinere, Depok, misalnya, setiap hari memusnahkan 10 truk-20 truk sampah yang menumpuk di bantaran Kali Pesanggrahan. Seluruh aktivitas itu dilakukan secara swadaya tanpa dukungan pemerintah. Namun, inisiatif ini kurang diperhatikan dan didukung pemerintah. Padahal, kegiatan ini sangat bisa dikembangkan dan ditularkan kepada masyarakat di luar kelompok tersebut.

Ketua Kelompok Tani Lingkungan Hidup Sangga Buana Chaerudin (54) atau yang biasa disapa Bang Idin menuturkan, melibatkan masyarakat untuk menjaga sungai sangat diperlukan. “Kalau warga cinta sungai dan memiliki keterikatan dengan sungai, secara otomatis mereka menjaga sungai. Melibatkan masyarakat membutuhkan biaya dan waktu yang tidak sebentar,” tutur Chaerudin.

Pakar tata kota Universitas Tarumanagara, Suryono Herlambang, memperlihatkan, potret pembangunan jembatan, jalan di atas sungai, ataupun tanggul sungai saat ini tak memberikan ruang bagi warga untuk dapat berinteraksi dengan sungai. Tidak ada tangga yang bisa digunakan warga untuk menuju ke area sungai. Padahal, zaman dahulu, berbagai aktivitas, mulai dari mencuci pakaian hingga transportasi menggunakan rakit, dilakukan di sungai.

Hal itu berbeda dengan penataan di negara lain, seperti Thailand, Tiongkok, dan Italia. Pemerintah mendesain sungai dengan mempertimbangkan aspek interaksi. Setelah kesadaran warga tumbuh, ikatan antara warga dan sungai pun akan tercipta. Warga tak lagi melihat sungai sebagai halaman belakang yang dilupakan.

Basis sosial budaya

Sejarawan F de Haan mengatakan, penduduk Jakarta dan sekitarnya sangat multi-etnis dan multikultural sehingga lebih susah diatur. Mereka kerap membuang sampah di kanal dan kali sehingga saluran sering tersumbat. Pemerintah Belanda menerapkan aturan bagi warga untuk membuang sampah pagi sebelum pukul 04.00 dan malam setelah pukul 21.00. Tak hanya menerapkan aturan, Belanda juga menyediakan perahu pengumpul sampah berlonceng untuk warga. Lonceng dibunyikan agar penduduk siap membuang sampahnya saat petugas melintas. Namun, pada 1653, Belanda akhirnya kewalahan dengan sampah yang membeludak lalu resmi melarang pembuangan sampah ke parit (Kompas, 26 Juni 2015).

Ernan Rustiadi, peneliti dan pemerhati Ciliwung dari Pusat Penelitian Pusat Pengkajian Perencanaan dan Pengembangan Wilayah (P4W) Institut Pertanian Bogor, menuturkan, meskipun belum dilirik pemerintah, kegiatan pemberdayaan masyarakat untuk melindungi sungai marak di kawasan Bogor. Kegiatan itu dimotori komunitas dari berbagai latar belakang. Mereka membersihkan kali dari sampah dan menyadarkan warga secara berkelanjutan untuk tidak membuang sampah di kali.

Ernan menambahkan, sebanyak 21 komunitas di tepi Ciliwung itu banyak bergerak pada kegiatan konservasi lingkungan, seperti membersihkan sampah di kali. Namun, tanpa dukungan pemerintah, kegiatan komunitas ini sulit berdampak luas.

Ke depan, pemerintah harus memikirkan bagaimana tata kelola Jabodetabek dengan mengombinasikan pendekatan kelembagaan dengan masyarakat. Pendekatan ini dinilai bisa menjadi jalan tengah untuk meningkatkan kesadaran warga dan meningkatkan kesejahteraannya.

Suryono mengingatkan lagi agar kebijakan normalisasi sungai tetap mengedepankan aspek sosial dan peran masyarakat sekitar sungai. Dengan kondisi kota yang dikelilingi air, secara visual, infrastruktur kota air harus terlihat dan ada di tengah masyarakat.

Jika selama ini pemerintah lebih fokus pada pembangunan berbasis proyek infrastruktur, kini saatnya pemerintah bergerak di bidang sosial budaya. Jangan sampai modal sosial yang kuat dari komunitas dibiarkan sia-sia. Dengan gerakan konsisten dan terus-menerus, impian Jakarta yang ramah dengan sungai tak lagi samar.

(Dian Dewi Purnamasari/Denty Piawai Nastitie)

Artikel terkait

Leave a Reply

Back to top button