Kliping

Penggusuran Banyak Langgar HAM

JAKARTA, KOMPAS — Penggusuran dan penanganan pedagang kaki lima di Jakarta sepanjang tahun 2015 dinilai masih menyisakan beragam persoalan pelanggaran hak asasi manusia. Pemerintah Provinsi DKI Jakarta diminta lebih mengedepankan hak setiap warga dalam seluruh proses pembangunan.

Ketua Forum Warga Kota Jakarta Azas Tigor Nainggolan, Minggu (20/12), mengatakan, kasus penggusuran sepanjang 2015 meningkat dua kali lipat dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Sebagian besar penggusuran dilakukan tanpa proses dialog antara pemerintah dan korban. “Tahun 2014, terjadi 26 kasus penggusuran dengan jumlah bangunan tergusur sekitar 14.000. Tahun ini, terjadi 51 kasus penggusuran dengan 30.000 bangunan yang tergusur,” ujarnya dalam konferensi pers.

Ia menambahkan, pihaknya bersama elemen lain tengah menyusun prosedur pelaksanaan standar (SOP) penggusuran. SOP ini akan diajukan ke pemerintah, dengan harapan jadi pedoman baku saat akan melakukan penggusuran tanpa melanggar HAM.

Komoditas kampanye

Komisioner di Subkomisi Pemantauan dan Penyelidikan Komnas HAM, Siane Indriani, pesimistis isu HAM akan menjadi perhatian serius Pemprov DKI pada tahun mendatang. Apalagi, tahun 2016 mulai masuk masa kampanye pemilihan Gubernur DKI tahun 2017.

“Isu HAM sering kali menjadi komoditas kampanye hingga satu tahun pertama setelah pilkada. Setelah itu, pemimpin daerah lupa akan isu HAM,” ujarnya.

Siane mengatakan, kekuatan kapital yang begitu kuat membuat pelanggaran HAM kerap terjadi. Gerak pembangunan lebih diarahkan untuk menyajikan kenyamanan bagi kelas menengah dan meminggirkan masyarakat kelas bawah.

Sementara itu, LBH Jakarta mencatat, sepanjang tahun 2015 ada 1.322 pengaduan yang masuk. Jumlah pengaduan ini merupakan tertinggi dalam lima tahun terakhir. Dari jumlah itu, 827 di antaranya berasal dari Jakarta. Isu yang marak diadukan terkait dengan perburuhan dan perkotaan, termasuk penggusuran.

Pengacara LBH Jakarta, Alldo Fellix Januardy, mengatakan, pemerintah diminta menghentikan diskriminasi warga. “Bentuk diskriminasi itu antara lain berupa penggusuran,” katanya, Minggu.

Peneliti Asia Tenggara dan kandidat doktor dari Universitas Kopenhagen, Denmark, Mark Philip Stadler, mengatakan, pengerahan militer dalam penggusuran tak seharusnya dilakukan. “Militer boleh dikerahkan dalam keadaan darurat, seperti bencana tsunami. Tetapi, tidak untuk penggusuran,” katanya.

Sirus Sinabariba (59), salah satu korban penggusuran Waduk Ria Rio pada 2013, mengaku kesulitan melaporkan kerusakan di rusun yang ditempatinya. Ia bermukim di Menara A6 Rusun Pinus Elok.

Selain itu, Sirus juga terkejut saat menerima tagihan Rp 5,8 juta, Oktober lalu. Sesuai dengan perjanjian awal, sewa rusun digratiskan setahun pertama. Setelah itu, penghuni diminta membayar sewa rusun Rp 212.000 per bulan plus biaya air. Namun, setelah lewat satu tahun pertama, Sirus menyatakan tak mendapatkan pemberitahuan apa-apa hingga mendapat tagihan tersebut.

“Kalau (tagihan itu) saya bagi 13 bulan untuk bayar sewa rusun dan biaya air, biaya air lebih besar daripada sewa rusun. Padahal, kualitas air buruk sehingga tak bisa dipakai untuk minum-makan,” katanya. (ART)

sumber: http://print.kompas.com/baca/2015/12/21/Penggusuran-Banyak-Langgar-HAM

Artikel terkait

Leave a Reply

Back to top button