Kliping

Beban Sosial Jakarta Masih Berat

Penataan kota, diikuti relokasi warga miskin ke rumah susun sederhana sewa, terus digenjot Pemerintah Provinsi DKI sebagai upaya peningkatan kualitas hidup warga. Namun sayang, upaya itu belum mengatasi beban sosial Jakarta sesungguhnya.

Tingkat pengangguran masih tinggi, sementara urbanisasi masih lebih banyak terserap ke sektor informal. Partisipasi warga terhadap pembangunan kota pun masih minim. Sebagai contoh, masih rendahnya kesadaran warga menjaga kebersihan lingkungan tempat tinggal. Dalam perhitungan statistik, Jakarta sesungguhnya sedang menikmati bonus demografi, “surplus” penduduk usia produktif. Urbanisasi yang mendatangkan tenaga kerja baru juga terus mengalir.

Ibarat kebun, Jakarta sedang panen buah. Namun, hasil panen buah itu kini cenderung menjadi beban karena hasil panen tak dikelola optimal. Akibatnya, panen buah itu pun menimbulkan masalah baru. Hingga saat ini, tingkat pengangguran di Jakarta masih lebih tinggi dibandingkan nasional, yakni 7,2 persen. Sementara tingkat pengangguran nasional 6,2 persen.

Kemiskinan di Jakarta pun tak pernah bisa ditekan. Meskipun tampak kecil karena hanya 4 persen, tingkat kemiskinan itu tak pernah berubah selama hampir 10 tahun terakhir. Alih-alih meningkatkan kesejahteraan, relokasi warga miskin ke rusunawa, terutama bagi yang tempat tinggalnya terkena proyek pengendalian banjir, kini malah menghadapi masalah baru. Tak sedikit dari mereka tak mampu membayar biaya sewa unit rusunawa karena kehilangan pekerjaan sejak pindah ke rusunawa.

Seorang ibu, Tuti (42), sejak direlokasi pada 2013 dari Waduk Pluit, Jakarta Utara, ke Rusunawa Pulogebang, Jakarta Timur, memiliki tunggakan sewa unit rusunawa selama 14 bulan, sebesar Rp 7 juta. Tunggakan itu sempat sama sekali tak bisa dibayar karena suaminya kehilangan pekerjaan sebagai sopir di Pluit sejak direlokasi.

Tuti mengaku, jarak dari rusunawa ke tempat pekerjaan suaminya di Pluit lebih dari 30 kilometer. Untuk satu kali jalan, bisa memakan biaya Rp 10.000. Suaminya memutuskan berhenti bekerja untuk mencari pekerjaan lain di Pulogebang. Pada saat yang sama anak sulungnya sakit parah dan meninggal. “Baru dua bulan lalu, suami memperoleh pekerjaan lagi sebagai sopir. Utang sewa unit baru dapat dibayar sebagian, sekitar Rp 3 juta,” katanya.

Kepala Dinas Perumahan dan Gedung DKI Jakarta Ika Lestari Aji pun mengakui, kini ada banyak warga rusunawa, hasil relokasi untuk proyek pengendalian banjir, yang menunggak biaya sewa unit selama berbulan-bulan. Tunggakan itu pun telah memperoleh teguran dari Badan Pemeriksa Keuangan.

Tuti dan sejumlah warga rusunawa pun mulai khawatir jika suatu saat mereka diusir karena tak dapat melunasi sewa unit rusun. Tuti pun mengaku pasrah jika diusir, dia akan kembali tinggal kawasan kumuh dengan rumah kontrakan yang harga sewanya terjangkau.

Masyarakat pasar

Ian Wilson, peneliti sosial dari Universitas Murdoch, Australia, mengungkapkan, warga miskin Jakarta kini tengah dipaksa masuk dalam sistem masyarakat pasar. Ian yang turut meneliti kemiskinan di kota Jakarta, salah satunya warga Kampung Pulo, Kampung Melayu, ini mengatakan, warga miskin merupakan kelompok paling rentan terhadap bencana sosial ataupun bencana alam. “Dalam relokasi ke rusunawa, warga miskin dipaksa membayar sewa dengan aturan yang mengikat. Hal ini dapat membebani warga miskin dan membuat mereka menghadapi masalah lagi,” paparnya.

Sementara itu, upaya pemberdayaan masyarakat di rusunawa baru sebatas pelatihan yang lebih cocok sebagai kegiatan mengisi waktu warga, seperti keterampilan membuat kue dan pakaian. Keterampilan itu pun tak diikuti dengan pelatihan pemasaran produk yang dihasilkan.

Sementara warga yang direlokasi belum memiliki jaringan sosial apa pun dengan lingkungan di sekitar rusunawa. Akibatnya, mereka hanya dapat berdagang makanan hasil pelatihan yang diperoleh terhadap sesama penghuni rusunawa dengan kondisi ekonomi juga relatif sama.

“Saya sudah coba dagang makanan, tetapi sulit sekali laku. Sebab kondisi kami di rusun ini juga sama-sama susah ekonominya,” kata Sumiati (46).

Problem pengangguran

Peneliti kependudukan dan tenaga kerja di Pusat Penelitian Kependudukan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Titik Handayani, mengatakan, Jakarta hingga kini masih menghadapi permasalahan pengangguran. Kendati dari segi komposisi penduduk, Jakarta sudah memasuki kondisi bonus demografi. Tingkat penduduk nonproduktif yang ditanggung kurang dari separuh dari 100 penduduk.

Di Jakarta, kini setiap 100 penduduk produktif hanya menanggung 39,9 orang. “Ini sudah menguntungkan bagi Jakarta. Di negara maju, tingkat ini dapat memengaruhi perbaikan ekonomi,” jelas Titik.

Namun, lanjut Titik, tak demikian yang terjadi di Jakarta. Pengangguran masih sulit ditekan. Tanpa adanya upaya pengelolaan sumber daya manusia yang baik, bonus demografi itu hanya membuahkan masalah. “Masalah yang utama adalah kejahatan dan Jakarta sudah masuk urutan ke-50 kota di dunia yang rawan kejahatan,” katanya.

“Kenapa Jakarta masih sulit mengatasi pengangguran ini?” kata Titik seraya melemparkan pertanyaan. Menurut Titik, kesulitan itu tak lain karena pendekatan pembangunan yang digunakan Jakarta masih tetap sama, yakni pembangunan fisik. Jakarta belum beranjak untuk menggunakan pendekatan manusia sebagai sumber daya yang potensial meningkatkan pembangunan kota.

Kepala Badan Pusat Statistik DKI Nyoto Widodo pun mengingatkan, pertumbuhan ekonomi Jakarta memang selalu naik meskipun penyerapan anggaran pembangunan di Pemerintah Provinsi DKI rendah. Hal itu dikarenakan Jakarta menjadi pusat pemerintahan nasional dengan kantor-kantor kementerian yang tersebar di Jakarta. “Bayangkan jika kantor-kantor pemerintah pusat itu tak ada di Jakarta. Ekonomi Jakarta pun akan lesu,” jelasnya.

Sementara nilai tanah di Jakarta pun sudah kian tinggi. Banyak industri mulai hengkang. Tak sedikit pabrik berubah menjadi pergudangan, yang artinya penyerapan tenaga kerja pun semakin berkurang. “Pemerintah Provinsi DKI harus mulai memikirkan penciptaan lapangan kerja. Salah satunya bisa dilakukan dengan mendukung ekonomi kreatif,” jelasnya.

Nyoto pun mengingatkan bahwa industri rumah tangga di Jakarta belum tampak ada yang bertransformasi dari industri kecil ke industri menengah. “Kelompok-kelompok usaha di Jakarta itu terpolarisasi. Kalau tidak usaha kecil sekali, maka usaha yang langsung skala besar,” terangnya.

Tak hanya dari segi tenaga kerja, partisipasi masyarakat Jakarta dalam pembangunan juga masih minim. Untuk membersihkan lingkungan serta kali, Pemprov DKI masih sangat mengandalkan tenaga kebersihan.

Sekretaris Jenderal United Cities and Local Government Asia Pasific Bernadia Irawati Tjandradewi mengatakan, kohesi sosial tetap harus dibangun kendati itu di perkotaan. Hal itu dapat dirintis dengan melembagakan interaksi masyarakat.

Seperti di Jepang, setiap pengumuman diberikan kepada warga lewat surat yang diedarkan dari rumah ke rumah secara bergantian. Cara itu dapat mendorong warga saling berinteraksi dan mengenal tetangganya. “Dalam era digital ini, warga perkotaan yang sibuk tetap dapat saling berinteraksi dengan menggunakan aplikasi obrolan, seperti Whatsapp atau Twitter,” jelasnya.

Dengan tetap menjaga interaksi sosial antarwarga, menurut Bernadia, tak hanya pemerintah yang diuntungkan. Namun, tiap warga juga dapat saling menjaga lingkungan tempat tinggalnya. (MADINA NUSRAT)

Artikel terkait

Leave a Reply

Back to top button