Berangan tentang Kota Melek Air
Menjelang akhir Oktober 2015, Sri Ayu (36), warga Kecamatan Larangan, Kota Tangerang, mulai khawatir karena volume air sumurnya mulai menyusut. Dia memerlukan waktu lebih dari satu jam untuk mengisi tandon air dari biasanya tak sampai setengah jam. Setelah hujan mulai sering turun pada pertengahan November, kekhawatiran Ayu berubah: banjir mengintai sejumlah akses keluar masuk kawasan rumah tinggalnya.
Kekhawatiran serupa menghinggapi sebagian warga Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi (Jabodetabek).
Mengelola air di Jakarta, juga kota sekitarnya, memang penuh tantangan. Kota ini dialiri 13 sungai besar. Lokasinya di beberapa tempat berada di bawah permukaan air laut dan tanahnya terus mengalami penurunan. Infrastruktur tata air sebagian besar masih peninggalan Belanda, ratusan tahun silam.
Ketika bertemu dengan perubahan lingkungan dan iklim yang drastis, langkah-langkah pengelolaan air di Jakarta sudah tidak memadai. Namun, lambatnya respons akan hal ini selama bertahun-tahun membuat warga terus merasa tidak aman.
Direktorat Jenderal Sumber Daya Air Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat mencatat sejumlah tantangan yang kini harus dihadapi kota-kota besar, yakni konversi tata guna lahan dan air tanah, erosi dan sedimentasi, dampak perubahan iklim, kondisi dasar sungai yang memburuk, polusi air, ketidakseimbangan antara permintaan dan ketersediaan air, pengembangan sumber daya manusia terkait tata air, partisipasi lembaga dan masyarakat, serta sistem informasi tata air.
Di Jabodetabek, persoalan semakin pelik karena adanya urbanisasi yang berarti pertambahan jumlah penduduk.
Berdasarkan istilah yang diperkenalkan para peneliti dari Monash University, Australia, Jabodetabek dalam belitan persoalan semacam itu masih berada dalam tataran kota penyedia air (water supply city) atau tahap paling awal. Hal ini diakui Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama. DKI masih sepenuhnya bergantung pada Waduk Jatiluhur untuk penyediaan air bersih bagi warganya.
“Pengelolaan air yang terintegrasi adalah kondisi ideal jika kita ingin seluruh air bisa digunakan dan tidak sekadar dibuang ke laut. Sebenarnya air itu masih bisa disimpan dan digunakan dalam bentuk apa pun, baik hujan, sungai, kanal, penampungan, air tanah, bahkan air limbah, selama masih berada di daratan,” katanya.
Itulah sebabnya, lanjut Basuki, cara-cara konvensional tidak lagi jadi pilihan. Metode inovatif harus segera diterapkan. Tidak mungkin berbagai persoalan itu diselesaikan hanya dengan menerapkan cara biasa, seperti membangun secara fisik.
Sejumlah kota di dunia sudah melakukan langkah-langkah signifikan untuk mengelola air mereka sehingga mereka melangkah ke tataran kota air berikutnya, yakni kota yang mampu mengelola pembuangan air, kota yang memiliki sistem drainase tertata, kota yang bisa melindungi lingkungan air, kota yang mampu mendaur ulang air, hingga puncaknya adalah kota sadar air (water sensitive city).
Tiga pilar
Agar Jabodetabek terlepas dari masalahnya, Ana Deletic, peneliti dari Academy of Technological Sciences and Engineering (ATSE), Australia, memaparkan, ada tiga pilar yang harus dimiliki sebuah kota yang sadar air. “Kota menjadi daerah tangkapan untuk ketersediaan air, kota menyediakan ekosistem (tata air), dan kota mendukung komunitas yang melek tata air,” katanya.
Sebagai penyedia air, lanjut dia, sebuah kota harus mampu menyediakan beragam sumber air: mulai air waduk, air tanah, air hasil desalinasi, air hasil daur ulang limbah, hingga panenan air hujan. Semua sumber ini harus dimanfaatkan supaya kota tahan terhadap tekanan iklim dan tekanan sosial.
Ekosistem tata air mencakup pembangunan infrastruktur air perkotaan, mulai dari infrastruktur pelayanan air bersih, perlindungan terhadap banjir dan pencemaran air, hingga lanskap kota yang produktif menghasilkan air, misalnya dengan sumur resapan atau dinding hijau pada bangunan kota.
Di sini, peran pemerintah menjadi sentral. “Perencanaan, jaringan multisektor, pengembangan teknologi, serta penggunaan modal politik, sosial, dan komunitas jadi kunci,” ujarnya.
Kepala Laboratorium Manajemen Lanskap Institut Pertanian Bogor Hadi Susilo Arifin menuturkan, ada sejumlah langkah kecil dan praktis yang bisa mulai dilakukan pemerintah daerah Jabodetabek untuk menuju kondisi ideal tata air. Yang terpenting adalah adanya landasan pola pikir tentang fungsi air.
“Musim hujan saat terbaik untuk memikirkan menghadapi kemarau. Air hujan tidak digelontorkan ke pembuangan begitu saja, tetapi disalurkan ke sumur-sumur, coakan-coakan, situ, atau tempat penampungan lain. Sebaliknya, musim kemarau adalah saat terbaik memikirkan musim hujan dengan mengeruk sedimentasi dan memelihara saluran air,” tuturnya.
Hadi menilai, peraturan tentang tata air masih sedikit dipahami masyarakat. Penegakan aturan tersebut juga lemah. Insentif dan disinsentif belum diterapkan sebagai bentuk hadiah dan hukuman bagi para pihak yang memanfaatkan air. Penanggulangan banjir dan kekeringan semata-mata proyek, bukan perencanaan. “Yang terjadi, saat banjir semua pihak ribut. Namun, satu dua bulan kemudian lupa. Aspek sosial penting dipahami sebagai landasan penerapan teknologi agar tidak terjadi kesenjangan,” kata Hadi.
Jakarta baru akan menerapkan beberapa aspek, seperti menihilkan air hujan yang masuk ke saluran pembuangan (zero run off) serta menggabungkan institusi penyediaan air bersih dan pengolahan air limbah pada tahun depan.
Kini, tinggal menanti keberanian para pemimpin wilayah Jabodetabek menerapkan langkah-langkah yang ditawarkan di atas. Dengan demikian, kekhawatiran Sri Ayu dan warga Jabodetabek lainnya perlahan bisa disingkirkan. Angan-angan tentang kota melek air pun bisa diwujudkan di sini.
(Fransisca Romana Ninik)